Selama dua minggu di negeri orang Mee pada April 2024, saya dua kali menginjakkan kaki di Enarotali, ibukota Kabupaten Paniai, daerah induk dan utama sebelum berkembang menjadi Kabupaten Deiyai dengan ibukota Waghete dan Kabupaten Dogiyai dengan ibukotanya Moanemani. Pertama kalinya, tiba pada sore hari, kami memasuki Enarotali saat suasana ramai. Banyak masyarakat memenuhi pasar hanya untuk jalan-jalan. Pusat kota yang terdiri dari lapangan dan pasar dengan jalan memutar itu disesaki oleh masyarakat. Kali kedua sudah menginjak malam dan langsung menuju penginapan. Waktu itu belum terlalu larut, tapi jalan-jalan sudah mulai sepi dan beberapa orang tampak berkerumum di warung lalapan dan kios-kios. Selebihya gelap gulita di pinggiran jalan.
Menyebut nama Enarotali, ingatan saya langsung menuju kepada Tragedi Paniai Berdarah pada 2014. Lapangan Enarotali kemudian menjadi lokasi pemakaman dari remaja yang ditembak oleh aparat keamanan. Lapangan Enarotali (Karel Gobay) yang strategis itu diapit oleh kantor Polisi dan Kodim TNI. Tapi justru di lapangan itulah menjadi sumber ingatan dari salah satu jejak kekerasan negara di tanah Papua yang terus-menerus terjadi tanpa henti. Tragedi Paniai Berdarah berawal pada tengah malam tanggal 8 Desember 2014. Saat itu saat sebuah mobil hitam melaju dari Enarotali menuju ke wilayah Madi yang diduga dikendarai oleh dua oknum anggota TNI dihentikan oleh tiga remaja warga sipil di kampung Togokotu. Ketiga remaja tersebut meminta lampu mobil dinyalakan karena warga sedang mengetatkan keamanan jelang perayaan Natal 25 Desember 2014. Mereka kemudian menahan mobil tersebut.
Cerita selanjutnya adalah menyisakan getir. Ketiga anggota TNI tidak terima dengan penahanan mobil tersebut dan kemudian kembali ke Markas TNI di Kota Madi. Mereka kemudian mengajak beberapa anggota lainnya untuk ke Togokotu dan mengejar ketiga pemuda yang menghentikan mobil mereka. Dua orang lari, satu lainnya dipukul hingga babak belur. Warga lalu melarikan anak yang terluka tersebut ke rumah sakit. Keeseokan paginya warga Paniai berkumpul dan meminta aparat melakukan pertanggung jawaban terhadap remaja yang dipukul. Warga berkumpul di lapangan Karel Gobay, namun sebelum dilakukan pembicaraan, aparat gabungan TNI dan Polri sudah melakukan penembakan ke warga. Empat orang tewas ditempat, 13 orang terluka dilarikan ke rumah sakit. Satu orang akhirnya meninggal dalam perawatan di rumah sakit Mahdi. Kelima orang yang tewas adalah Simon Degei (18 tahun), Otianus Gobai (18 tahun), Alfius Youw (17 tahun), Yulian Yeimo (17 tahun), dan Abia Gobay (17 tahun). Kesemuanya pelajar di SMA Negeri 1 Paniai.
Kota Dengan Kios
Daerah tertinggi di wilayah Meeuwodide kami tempuh dengan kendaraan Hilux dari Kota Nabire. Sebelum dimekarkan menjadi Deiyai dan Dogiyai, Enarotali adalah daerah tua tempat berkembangnya pemerintahan dan penyebaran agama. Relasi orang Mee dengan pemerintah Belanda dan Jepang dan juga dengan penyebaran agama, membuat mereka menyerap berbagai pengetahuan, melakukan resistensi, dan sekaligus mengadaptasi berbagai perubahan yang terjadi akibat relasi mereka dengan Ogai (orang luar).
Mobil yang kami tumpangi kemudian menyusuri kerumunan masyarakat yang berjalan memenuhi jalan di pasar. “Kaka, dong biasa begitu. Jalan saja sebelum gelap. Nanti kalau su gelap, dong kembali ke rumah dan pasar sepi. Begitu terus setiap sore.” ujar ade laki-laki yang menemani kami selama perjalanan. Kami menghentikan mobil dan ikut berjalan. Warung-warung yang sering disebut masyarakat sebagai kios hampir semuanya menjual beras dan beberapa menjual ayam es yang dipajang dengan plastik. Beberapa kios bahkan di depannya memajang kandang ayam langsung. Kita sudah bisa menebak penjual kios ini adalah para migran. Sedangkan orang Papua saya lihat berjualan di mata (pinggiran) jalan atau di depan kios sembako dan pulsa. Mereka menjual hasil kebun berupa sayur-sayuran, hingga kayu bakar.
Kota dengan kios-kios ini bukan hanya terjadi di Enarotali, tapi sebagian besar kota-kota besar yang menjadi ibukota provinsi maupun kabupaten seantero tanah Papua. Kita akan dengan sangat mudah menyaksikan ketimpangan ekonomi di ruang-ruang publik seperti pasar atau jalan-jalan umum di ibukota provinsi ataupun kabupaten. Para migran biasanya memiliki toko dan para mama berjualan di pinggiran jalan dengan menggelar karung plastik. Para mama ini berjualan hasil kebun di jalan-jalan utama atau di pasar yang dikujungi banyak pembeli. Pasar megah yang sering dibangun di beberapa wilayah di tanah Papua seringkali tidak digunakan oleh para mama yang lebih memilih tetap berjualan di pinggiran jalan dan menggelar jualannya di tanah.
Situasi ketimpangan tersebut menyiratkan persoalan yang kompleks berkaitan dengan bertemunya sistem ekonomi orang Papua, terutama ekonomi para mama, dengan “ekonomi baru” yang dibawa oleh para migran dan juga arus besar kapital. Para migan dan arus kapital yang berwajah para investor menyasar eksploitasi alam Papua dengan kepentingan kapitalisasi dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Pada sisi lainnya, corak kehidupan ekonomi subsisten Papua di kampung-kampung menghadapi penyingkiran yang sistematis karena koalisi investasi, kebijakan pemerintahan, arus migran yang terus mendesak masuk ke tanah Papua tanpa henti. Situasi kemudian menjadi sedemikian kompleks dan saling berkelindan dengan pencarian terus-menerus sumber daya alam baru yang dilindungi oleh aparat keamanan.
Menterjemahkan Owadaa
Lalu dimana posisi masyarakat Papua yang berada di kampung-kampung? Bagaimana mereka bersiasat bertahan melanjutkan kehidupan? Program Owadaa yang diinisiasikan Yapkema sebenarnya bertumpu pada peran krusial perempuan Papua, mama-mama Papua, yang menjadi tiang penyangga pangan pada lingkup keluarga. Salah satunya yang didorong oleh program Owadaa ini adalah ketersediaan sekaligus kemandirian pangan pada lingkup kecil keluarga. Pengetahuan Owadaa sudah mengingatkan bahwa pagar-pagar kebun sebagai sumber penghidupan adalah langkah awal yang bisa dimulai dari rumah-rumah dan keluarga terkecil.
Para perempuan Papua inilah yang memegang kendali kehidupan di rumah tangga. Selain para mama, peran dari guru-guru yang bisa masuk ke dalam keluarga untuk memberikan pemahaman kepada keluarga-keluarga di kampung akan pentingnya menterjemahkan (baca: mempraktikkan) Owadaa ini di kehidupan rumah tangga. Tidak kalah pentingnya juga peranan dari Pemerintah Daerah (Pemda), terutama Dinas Pendidikan dan Dinas Petanian untuk merumuskan kebijakan yang menjadikan Owadaa sebagai nilai-nilai dalam pendidikan, khususnya pembelajaran di sekolah-sekolah. Selain itu, dalam bidang pertanian modul Owadaa juga sangat berperanan penting untuk pembelajaran keberagaman varietas ubi, pengetahuan yang ada di dalamnya bagi komunitas, dan juga situasinya pada masa kini.
Pertanyaan yang selalu muncul pada awal program ini dijalankan adalah, kenapa Owadaa masih relevan “dikontekstualisasikan” (baca: dibunyikan) dalam situasi Papua kontemporer, khususnya yang berada di wilayah Meeuwo? Satu hal yang megemuka adalah berkaitan dengan perubahan pola konsumsi dari masyarakat Mee, salah satunya akibat berbagai pengaruh yang datang dari luar. Masyarakat Mee memiliki keyakinan bahwa Owadaa sebagai nilai-nilai mampu untuk menyelamatkan hidup orang Mee secara khusus. Keyakinan dalam menyelematkan hidup ini baik secara verbal hingga penghayatan dalam keseharian kehidupan.
Terkhusus dalam bidang pendidikan, tantangan terbesarnya adalah menjembatani nilai-nilai Owadaa ke dalam proses pendidikan formal di sekolah-sekolah pada satu sisi. Pada konteks ini peranan guru menjadi penting. Oleh sebab itulah menggali refleksi guru tentang keadaan siswa dan orang tua di sekolah menjadi sangat penting. Keterikatan guru dengan siswa dan orang tua tidak hanya sebatas relasi formal di sekolah, tapi juga menyentuh wilayah personal. Ini memang tantangan yang berat, tapi bagi wilayah Papua khususnya, peran ini harus dijalankan untuk mendekatkan guru dan pendidikan itu sendiri dengan komunitas. Peran sentral guru yang memiliki pengetahuan luas dan sensitifitas sosial budaya menjadi sangat urgen. Guru, orang tua, anak dan komunitas, dalam hal ini masyarakat di kampung-kampung Papua harus ada kesepahaman dalam meterjemahkan nilai-nilai Owadaa.
(Bersambung)
Paniai – Dogiyai – Deiyai – Nabire, April 2024 dan Manokwari, Agustus 2025.
Catatan: Esai ini adalah bagian ketiga dari lima esai yang merangkum narasi pengalaman saya berada di Meeuwodide guna memfasilitasi para guru-guru Sekolah Dasar (SD) di Dogiyai, Deiyai, dan Paniai pada April 2024 dalam menterjemahkan nilai-nilai Owadaa bagi siswa. Acara ini difasilitasi oleh Yapkema (Yayasan Pembangunan Masyarakat) Papua di Nabire dalam menjalankan program Owadaa.
***
Baca Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 1)
Baca Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)