Papua bukan sekadar wilayah di ujung timur Indonesia—ia adalah ruang luka, ruang harapan, dan ruang perlawanan terbuka dunia. Selama lebih dari setengah abad, suara-suara dari tanah ini terus berseru: tentang sejarah yang dipalsukan, identitas yang dihapus, tanah yang dirampas, dan tubuh-tubuh yang terus dibungkam atas nama “keamanan” dan “persatuan nasional.” Tetapi dari reruntuhan itu, satu hal tetap hidup: perlawanan semesta.
Tulisan ini bukan laporan biasa. Ini adalah pembacaan kritis atas realitas politik, sejarah, dan kemanusiaan di Papua yang sering disingkirkan dari panggung nasional, tetapi mulai terbuka di panggung global. Dari peran simbolik bendera Bintang Kejora, pelabelan “KKP” yang menciptakan ketakutan struktural, hingga tumbuhnya kesadaran politik anak muda Papua yang kini menjadi jantung dari perjuangan modern—setiap bagian dari tulisan ini merekam denyut perlawanan yang tak bisa dimatikan.
Kita tidak sedang membaca tentang gerakan separatis dalam makna dangkalnya, tetapi tentang satu bangsa yang menuntut pengakuan atas keberadaannya—tentang orang-orang yang hidup dalam bayang-bayang tirani, namun tetap memilih untuk berdiri tegak. Bahwa di tengah represi dan pembungkaman, justru lahir semangat baru yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih terhubung dengan dunia.
Tulisan ini mengajak kita untuk berhenti sejenak, melihat Papua dengan mata yang jernih, mendengar jeritannya dengan hati yang terbuka, dan bertanya secara jujur: apakah benar kita menjadi semakin manusia yang berlaku adil?
Jika tidak, maka mari kita mulai dari sini—dengan membaca, memahami, dan tidak lagi berpaling. Karena seperti kata Desmond Tutu, “If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor” (Jika kamu netral dalam situasi ketidakadilan, maka kamu telah memilih berpihak pada penindas)[1].
Identitas Kolektif dan Sejarah yang Kuat
Perlawanan rakyat Papua terhadap integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan sekadar reaksi politik sesaat, melainkan ekspresi dari identitas kolektif yang terbentuk secara historis dan diwariskan antar generasi. Dalam pendekatan sosiologis, Alberto Melucci (1995) menjelaskan bahwa identitas kolektif adalah hasil dari proses komunikasi dan artikulasi makna bersama dalam suatu kelompok yang berjuang mempertahankan keberadaannya. Identitas ini menjadi landasan emosional dan kognitif dalam mempertahankan gerakan sosial yang berkelanjutan[2].
Bagi rakyat Papua, identitas ini tumbuh kuat sejak awal 1960-an, ketika mereka mulai merumuskan simbol-simbol kebangsaan sendiri, termasuk bendera Bintang Kejora, lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”, dan Dewan Nugini sebagai bentuk pemerintahan sementara. Namun, narasi sejarah Papua mengalami titik balik saat pelaksanaan Act of Free Choice atau Pepera tahun 1969 yang dalam praktiknya hanya melibatkan 1.026 orang dari populasi sekitar 800.000 jiwa. Mereka tidak memilih secara bebas, melainkan di bawah tekanan dan kontrol militer. Sejumlah laporan internasional, termasuk dokumen dari PBB, mengkritik proses ini dan menyebutnya sebagai bentuk pelanggaran prinsip self-determination[3].
Dalam teori trauma kolektif, Jeffrey C. Alexander (2004) menjelaskan bahwa kelompok yang mengalami ketidakadilan sejarah membangun narasi penderitaan bersama sebagai dasar pembentukan solidaritas dan identitas[4]. Dalam konteks Papua, Pepera menjadi sumber luka sejarah yang membentuk kesadaran bahwa mereka telah “dijajah kembali” setelah sempat berada di jalur menuju kemerdekaan. Ini diperkuat oleh ingatan kolektif yang terus dipelihara melalui pendidikan keluarga, cerita adat, liturgi gereja, seni mural, hingga gerakan mahasiswa.
Lebih lanjut, Anthony D. Smith (1986) dalam teori etno-simbolisme menekankan pentingnya simbol, mitos asal-usul, dan memori kolektif sebagai pilar utama dalam pembentukan identitas nasional[5]. Simbol-simbol nasional Papua yang bertahan hingga kini bukan hanya alat perlawanan, tetapi juga menjadi representasi eksistensial dari sebuah bangsa yang merasa dirampas kedaulatannya. Ini menunjukkan bahwa identitas nasional Papua bukan sekadar rekaan politik, melainkan lahir dari memori sejarah yang panjang.
Benedict Anderson (1983) melalui konsep Imagined Communities menyatakan bahwa bangsa adalah komunitas yang “dibayangkan” karena anggotanya tak pernah saling bertatap muka, tetapi merasa memiliki kesamaan sejarah, pengalaman, dan masa depan[6]. Dalam kasus Papua, masyarakatnya membayangkan diri mereka sebagai bangsa yang berbeda dari Indonesia. Imajinasi ini terus diperkuat oleh pengalaman historis yang khas, narasi penindasan, dan harapan terhadap kemerdekaan yang tertunda.
Akhirnya, pendekatan Michel Foucault (1972) tentang kuasa dan wacana juga relevan dalam membaca konstruksi identitas Papua. Foucault menjelaskan bahwa kuasa tidak hanya hadir dalam bentuk represi fisik, tetapi juga melalui kontrol atas narasi sejarah[7]. Dengan menegasikan versi sejarah Papua dan memaksakan narasi resmi negara, pemerintah Indonesia secara aktif membentuk subjektivitas rakyat Papua. Namun, penolakan terhadap narasi resmi ini justru memperkuat identitas kolektif alternatif yang dibangun rakyat Papua dari bawah.
Dengan demikian, identitas kolektif rakyat Papua bukanlah identitas yang lahir dari propaganda gerakan bersenjata semata, tetapi merupakan hasil dari interaksi historis, trauma kolektif, dan simbol-simbol nasional yang membentuk kesadaran politik, sosial, dan kultural yang kuat. Perjuangan rakyat Papua berakar pada kesadaran bahwa mereka adalah bangsa tersendiri—sebuah kesadaran yang terus bertahan, tumbuh, dan diwariskan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan eksistensial terhadap sejarah mereka sendiri.
Ketidakadilan dan Marginalisasi yang Berkelanjutan
Salah satu sumber paling mendasar dari aspirasi kemerdekaan rakyat Papua adalah pengalaman ketidakadilan struktural yang berlangsung lama dan sistematis. Ketimpangan ini bukanlah gejala sesaat, melainkan mencerminkan pola relasi kekuasaan yang timpang dan berulang, sebagaimana dijelaskan dalam teori ketidakadilan struktural oleh Iris Marion Young (1990), yang menekankan bahwa penindasan dapat terjadi melalui institusi-institusi sosial dan ekonomi yang menyingkirkan kelompok tertentu secara sistemik, meskipun tanpa kekerasan fisik yang langsung[8].
Dalam kerangka ekonomi politik, David Harvey (2005) mengembangkan konsep accumulation by dispossession—yakni cara negara dan korporasi mengakumulasi kekayaan melalui perampasan hak-hak ekonomi komunitas lokal[9]. Operasi tambang emas dan tembaga oleh PT Freeport Indonesia selama lebih dari lima dekade menjadi contoh konkret dari mekanisme ini.
Kekayaan alam Papua diekstraksi dan dialirkan ke pusat kekuasaan dan pasar global, sementara masyarakat lokal hidup dalam kemiskinan, dengan keterbatasan akses terhadap air bersih, listrik, jalan, pendidikan, dan layanan kesehatan dasar. Model pembangunan ini menegaskan dominasi korporasi dan negara atas hak-hak ekonomi rakyat Papua.
Dalam konteks pembangunan sosial, Amartya Sen (1999) menekankan bahwa pembangunan sejati harus dilihat sebagai perluasan kebebasan substantif manusia[10]. Namun, kenyataannya, rakyat Papua masih tertinggal dalam berbagai indikator pembangunan manusia: angka buta huruf tinggi, kematian ibu dan bayi yang kronis, serta gizi buruk yang tetap endemis di wilayah pedalaman. Kegagalan ini menunjukkan bahwa pembangunan di Papua bersifat simbolik, elitis, dan gagal menyentuh kebutuhan esensial rakyat, karena pendekatannya lebih sering top-down daripada berbasis partisipasi atau bottom-up.
Diskriminasi dan stigmatisasi rasial juga menjadi bagian dari ketidakadilan struktural yang mendalam. Dalam konteks ini, Frantz Fanon (1961) dalam The Wretched of the Earth menjelaskan bagaimana kolonialisme tidak hanya mengeksploitasi sumber daya, tetapi juga membentuk inferioritas psikologis terhadap masyarakat terjajah melalui stigmatisasi rasial[11]. Peristiwa rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019 menjadi manifestasi dari bias rasial yang berakar dalam cara pandang negara dan masyarakat terhadap orang Papua sebagai “yang lain” atau the other, yang dianggap berbeda dan lebih rendah.
Negara juga memperkuat marginalisasi melalui pendekatan militeristik terhadap aspirasi politik Papua. Dalam kerangka ini, Michel Foucault (1977) melalui konsep biopower menjelaskan bagaimana negara modern menggunakan kekuasaan tidak hanya untuk menindas secara langsung, tetapi juga untuk mengontrol kehidupan dan kematian kelompok tertentu—termasuk melalui pembiaran terhadap kelaparan, kemiskinan, dan kematian yang seharusnya bisa dicegah[12]. Di Papua, pendekatan keamanan yang represif menggantikan upaya dialog, sehingga bukannya menyelesaikan masalah, justru memperdalam luka sosial.
Selain itu, Nancy Fraser (2000) mengembangkan gagasan recognition dan redistribution sebagai dua pilar keadilan sosial[13]. Dalam konteks Papua, negara gagal memenuhi keduanya: pengakuan terhadap identitas dan hak-hak politik budaya orang Papua lack of recognition (diabaikan), sementara distribusi ekonomi tetap lack of redistribution (timpang dan eksploitatif). Ketimpangan ini mengakar dalam sistem nasional, dan bukan hanya dalam praktik kebijakan tertentu.
Dari sini, menjadi jelas bahwa perjuangan Papua bukan semata-mata didorong oleh keinginan untuk berpisah, tetapi merupakan penolakan terhadap struktur dominasi yang mendalam dan berlapis. Penindasan tidak hanya terjadi melalui peluru dan senjata, tetapi juga melalui distribusi sumber daya yang tidak adil, pengucilan sosial, pelabelan politik, dan hilangnya kendali atas tanah, tubuh, dan suara rakyat Papua sendiri.
Ketahanan Lokal dalam Perjuangan Asimetris
Gerakan kemerdekaan Papua menunjukkan karakteristik yang khas dibandingkan banyak gerakan separatis lainnya di dunia. Salah satu kekuatan utamanya terletak pada ketahanan otonom berbasis lokal, yakni kemampuan bertahan dan berjuang tanpa dukungan signifikan dari aktor eksternal—baik negara sponsor, organisasi internasional, maupun logistik militer asing. Ciri ini menjadikan perjuangan Papua bukan hanya sebagai konflik politik biasa, tetapi sebagai bentuk resistensi akar rumput atau grassroots resistance yang lahir dari pengalaman historis, kultural, dan geografis.
Dalam literatur studi konflik dan gerakan sosial, bentuk perlawanan seperti ini dapat dikaitkan dengan teori asymmetric warfare (perang asimetris), sebagaimana dijelaskan oleh Ivan Arreguín-Toft (2001) dalam tulisannya How the Weak Win Wars: A Theory of Asymmetric Conflict. Menurutnya, dalam konflik antara aktor lemah dan kuat, pihak yang lemah dapat menang atau bertahan bila menggunakan strategi yang tidak simetris atau indirect approach, seperti perang gerilya, simbolisme moral, dan basis komunitas[14]. TPNPB-OPM menunjukkan praktik nyata dari strategi ini: mereka mengandalkan medan yang sulit dijangkau, hubungan kekerabatan adat, serta dukungan komunitas setempat yang memahami konteks lokal.
Sebagian besar perlawanan bersenjata Papua tidak bergantung pada pasokan senjata asing, melainkan menggunakan senjata rampasan, rakitan, atau tradisional. Ini mencerminkan “strategi survival berbasis sumber daya lokal” sebagaimana dikaji oleh Stathis N. Kalyvas (2006) dalam The Logic of Violence in Civil War, di mana kelompok bersenjata dalam konflik internal bertahan dengan memanfaatkan jaringan sosial lokal alih-alih ketergantungan eksternal[15].
Sementara itu, gerakan sipil Papua—baik yang dilakukan oleh mahasiswa, tokoh gereja, aktivis HAM, maupun komunitas adat—lebih menunjukkan karakteristik mobilisasi sosial otonom. Mereka tidak terorganisir secara sentralistik atau dengan pendanaan besar, tetapi terhubung melalui “jaringan solidaritas lemah” atau weak-tie networks, sebagaimana dijelaskan oleh Mark Granovetter (1973) dalam teorinya The Strength of Weak Ties. Justru karena hubungan mereka cair dan tersebar, gerakan ini lebih tahan terhadap represi otoriter[16].
Aspek penting lainnya adalah “konsientisasi” (conscientization) atau kesadaran kritis, sebagaimana digagas oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970). Gerakan sipil di Papua tumbuh dari proses sadar akan penindasan struktural dan menjadi ajakan kolektif untuk bertindak melawan. Pendidikan informal, diskusi komunitas, mural, musik, dan media alternatif menjadi sarana penyebaran kesadaran politik ini tanpa perlu sumber daya eksternal yang besar[17].
Dengan demikian, meskipun tidak memiliki akses pada pendanaan dan senjata internasional, gerakan Papua justru membuktikan bahwa kemandirian gerakan berbasis nilai, identitas, dan jaringan sosial lokal dapat menjadi sumber kekuatan yang sangat tangguh. Dalam konteks ini, “kedaulatan lokal” menjadi fondasi dari perjuangan panjang, bukan hanya untuk kemerdekaan teritorial, tetapi juga pembebasan diri dari ketergantungan struktural dan dominasi kekuasaan negara[18].
Perlawanan dalam Era Digital dan Globalisasi
Salah satu transformasi paling menentukan dalam dinamika perjuangan Papua dalam dua dekade terakhir adalah munculnya kesadaran politik generasi muda Papua[19]. Mereka bukan hanya penerus dari generasi sebelumnya, melainkan telah menjadi subjek utama perjuangan, yang tampil dengan cara berpikir, alat perjuangan, dan jejaring yang jauh lebih luas. Di tengah tekanan struktural dari negara, generasi ini tidak memilih bungkam. Sebaliknya, mereka bangkit dengan identitas politik yang kritis, artikulatif, dan berbasis pada kesadaran sejarah dan global.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori generasi kritis yang dikembangkan oleh Karl Mannheim dalam The Problem of Generations (1928)[20]. Mannheim menyebut bahwa generasi yang lahir dan tumbuh dalam situasi krisis atau represi memiliki potensi menjadi motor perubahan sosial karena mengalami “pemutusan kontinuitas” dari narasi dominan. Dalam konteks Papua, generasi muda hari ini lahir dalam situasi kolonialisme internal, kekerasan negara, dan eksklusi politik. Namun mereka juga tumbuh di tengah arus globalisasi digital yang memberi akses luas pada wacana tandingan—baik soal sejarah lokal, hak asasi manusia, maupun perjuangan dekolonial di belahan dunia lain.
Anak muda Papua memanfaatkan media sosial, forum digital, dan pendidikan alternatif untuk mengkonstruksi narasi tandingan terhadap historiografi negara. Mereka membaca ulang sejarah Pepera 1969, pelanggaran HAM, serta peran militer dan oligarki dalam eksploitasi tanah Papua. Ini sesuai dengan gagasan “counter-memory” yang dikemukakan oleh Michel Foucault (1977) dalam Language, Counter-Memory, Practice, yakni proses di mana kelompok tertindas menciptakan ingatan kolektif alternatif terhadap sejarah resmi sebagai bentuk perlawanan terhadap kuasa[21].
Lebih dari sekadar aktor lokal, generasi muda Papua kini juga membangun koneksi solidaritas dengan gerakan global. Mereka melihat perjuangan Papua sebagai bagian dari “global indigeneity”—gerakan masyarakat adat di berbagai negara yang menuntut hak atas tanah, budaya, dan politiknya. Hal ini sejalan dengan teori Linda Tuhiwai Smith dalam Decolonizing Methodologies (1999), bahwa masyarakat pribumi masa kini bukanlah korban pasif, tetapi aktor yang memproduksi pengetahuan dan membangun solidaritas global untuk memperjuangkan kedaulatan mereka[22].
Bentuk ekspresi perjuangan mereka juga sangat beragam. Mulai dari organisasi mahasiswa yang aktif mengadvokasi hak-hak Papua di kampus dan ruang publik, seperti Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan BEM se-Papua. Aktivis HAM yang mendokumentasikan kekerasan dan mempublikasikannya ke forum internasional, berperan sebagai witnesses of injustice. Seniman dan musisi seperti Benny Wenda, Epo D’Fenomeno, dan West Papua Revolutionary Army Music, yang menciptakan narasi budaya alternatif[23].
Bahkan sebagian anak muda memilih bergabung ke dalam struktur perlawanan bersenjata, sebagai ekspresi dari nihilnya ruang legal yang tersedia—apa yang Johan Galtung (1969) sebut sebagai “structural violence”, yakni kekerasan sistemik yang menghilangkan akses terhadap partisipasi politik yang adil[24].
Dalam kacamata teori resistensi budaya yang dikembangkan oleh James C. Scott dalam Weapons of the Weak (1985)[25], anak-anak muda Papua telah memodifikasi strategi perlawanan dari yang bersifat konfrontatif menjadi lebih simbolik dan kultural. Mereka membangun narasi-narasi baru, melakukan advokasi digital, menciptakan karya sastra dan seni sebagai alat dekolonisasi pikiran.
Kebangkitan generasi ini bukan hanya reaksi terhadap represi, tetapi merupakan refleksi dari proses pendidikan politik yang organik dan dinamis. Ia menandakan bahwa kolonialisme—dalam bentuk apa pun—justru dapat menjadi pemicu kebangkitan kesadaran baru. Mereka tidak sekadar menuntut kemerdekaan politik, melainkan juga restorasi martabat dan pengakuan sebagai manusia utuh yang memiliki sejarah, budaya, dan masa depan sendiri.
Dengan semangat kolektif, jaringan global, serta artikulasi kultural yang kuat, generasi muda Papua adalah tulang punggung perlawanan kontemporer. Mereka membawa perjuangan Papua ke dalam dimensi yang lebih luas dan modern—bukan hanya sebagai konflik domestik Indonesia, tetapi sebagai bagian dari pergulatan panjang rakyat-rakyat tertindas dalam membela hak hidup dan menentukan nasibnya sendiri.
Simbol dan Makna Spiritual Perjuangan
Bagi rakyat Papua, perjuangan untuk merdeka bukanlah sekadar proyek politik yang ingin mengganti satu bentuk kekuasaan dengan kekuasaan lain. Ini adalah perjuangan yang melibatkan seluruh dimensi keberadaan: politik, budaya, spiritualitas, dan identitas. Perlawanan Papua tumbuh dari pemahaman bahwa tanah bukan hanya lokasi geografis, tetapi entitas hidup yang sakral, tempat roh leluhur bersemayam, dan sumber nilai-nilai kehidupan kolektif[26].
Simbol-simbol perjuangan seperti bendera Bintang Kejora, noken (tas rajut khas Papua), lukisan tubuh, warna adat, dan lagu “Hai Tanahku Papua”, bukan sekadar ekspresi budaya atau identitas etnik, tetapi penanda eksistensial: bahwa orang Papua adalah bangsa yang berbeda, yang memiliki sejarah sendiri, kosmologi sendiri, dan martabat yang tidak bisa digantikan oleh logika pembangunan atau nasionalisme negara-bangsa Indonesia[27].
Simbol-simbol ini bersifat performatif dan transformatif. Dalam kerangka teori identitas simbolik, Anthony P. Cohen (1985) menjelaskan simbol bukan hanya merepresentasikan makna, tapi juga membangun dan mempertahankan makna kolektif[28]. Ketika seorang anak muda Papua melukis wajahnya dengan motif adat lalu berdiri menghadapi aparat keamanan, ia tidak hanya “mengungkapkan diri” tapi juga mengaktifkan memori kolektif tentang siapa mereka dan apa yang telah dirampas dari mereka.
Dimensi spiritual perjuangan Papua juga berkaitan erat dengan hubungan antara manusia dan tanah. Banyak komunitas adat di Papua memahami tanah sebagai subjek hidup, bukan objek mati. Dalam kerangka ekospiritualitas (Berry, 1988; Shiva, 2005), alam dilihat sebagai bagian dari tatanan sakral yang memiliki nilai intrinsik[29]. Ketika tanah diambil alih oleh perusahaan tambang atau dibuka untuk proyek pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat adat, yang hilang bukan hanya sumber daya ekonomi, tetapi juga hubungan spiritual yang membentuk dasar moral masyarakat Papua.
Perlawanan terhadap ekspansi tambang, perkebunan, dan militerisasi wilayah adat bisa dibaca sebagai bentuk resistensi kosmologis—yakni perlawanan yang muncul karena tatanan hidup dan makna kosmik masyarakat dihancurkan oleh kekuatan luar. Ini berbeda dari perlawanan politis-konvensional karena ia bukan semata mengejar perubahan rezim, tapi pemulihan tatanan dunia yang diyakini telah rusak.
Sebagian besar orang Papua beragama Kristen, dan dalam perjuangan mereka, nilai-nilai kekristenan tidak jarang memberi fondasi etis dan spiritual. Gereja sering menjadi pusat konsolidasi sosial, tempat penyembuhan trauma, dan suara moral yang menantang ketidakadilan. Banyak pemimpin gereja Papua memaknai ketidakadilan dan penindasan dalam kerangka teologi pembebasan (Gutierrez, 1971), di mana iman Kristen harus berpihak pada orang miskin dan tertindas[30]. Dalam konteks ini, perjuangan Papua menjadi perwujudan iman yang hidup: iman yang berjuang demi kebenaran, martabat, dan keutuhan ciptaan.
Negara sering kali gagal membaca makna mendalam ini. Dalam pendekatan keamanan, negara yang bersifat teknokratik dan militeristik, perjuangan Papua direduksi menjadi ancaman separatis. Simbol-simbol spiritual dianggap subversif, dan dimensi religius perjuangan diabaikan. Padahal, sebagaimana dijelaskan dalam Cultural Trauma and Collective Identity oleh Jeffrey C. Alexander (2004), bahwa luka kolektif yang dialami oleh suatu komunitas tidak akan sembuh hanya dengan pendekatan represif—melainkan butuh pengakuan, pemulihan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai terdalam yang membentuk identitas kelompok[31].
Dalam konteks ini, perjuangan Papua menjadi unik: ia tidak hanya bersenjata dengan senapan rakitan, tetapi juga dengan doa, dengan tarian, dengan bendera, dan dengan lagu. Ia tidak hanya melawan untuk masa depan, tetapi juga demi menghormati arwah leluhur dan demi anak cucu yang belum lahir. Spirit perjuangan ini tidak mudah dihancurkan—karena ia bukan hanya berada di medan tempur, tapi juga di jiwa kolektif yang telah memutuskan untuk tidak tunduk.
Reproduksi Struktural Perlawanan
Salah satu alasan mendasar mengapa perjuangan Papua tidak pernah padam, bahkan setelah lebih dari setengah abad, adalah karena tindakan negara—yang dimaksudkan untuk meredam—justru secara sistematis mereproduksi perlawanan itu sendiri. Fenomena ini bisa dibaca melalui lensa structural violence (kekerasan struktural) seperti yang dikembangkan oleh Johan Galtung (1969)[32] dan diperluas oleh Paul Farmer (2004)[33]: ketidakadilan yang tertanam dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi menciptakan penderitaan sistemik yang tidak selalu tampak sebagai kekerasan fisik langsung, tetapi menghancurkan kapasitas hidup, martabat, dan kepercayaan kolektif. Dalam konteks Papua, pendekatan keamanan yang dominan, represi terhadap ekspresi identitas, dan marginalisasi terus-menerus adalah bentuk kekerasan struktural yang menumbuhkan dan mempertahankan resistensi.
Setiap langkah represif—operasi militer di wilayah pegunungan, pembakaran kampung, penembakan warga sipil, penggusuran atas nama pembangunan, penangkapan aktivis karena mengibarkan simbol identitas seperti bendera Bintang Kejora—tidak hanya menciptakan trauma individual, melainkan trauma kolektif. Teori cultural trauma oleh Jeffrey Alexander et al. (2004) menjelaskan bahwa peristiwa-peristiwa yang dialami sebagai pengkhianatan atau penindasan terhadap identitas kolektif menghasilkan narasi etis dan historis yang diwariskan dan menjadi dasar solidaritas resistensi[34]. Anak-anak yang menyaksikan kekerasan, remaja yang kehilangan akses pendidikan, dan komunitas yang dibungkus ketakutan membentuk memori bersama yang meneguhkan bahwa sistem tidak adil—membangun legitimasi moral bagi perlawanan generasi berikutnya.
Lebih jauh, teori “backlash” terhadap represi dalam studi konflik (misalnya, Charles Tilly dalam tradisi contentious politics sejak 1978 dan kajian reaksi terhadap represi oleh David A. Lake dan Donald Rothchild serta kajian-riset seperti yang diulas oleh David Davenport (2007) menunjukkan bahwa tindakan represi yang berat kerap memicu mobilisasi lebih besar, bukan demobilisasi, apabila masyarakat melihatnya sebagai ketidakadilan yang tidak bisa ditoleransi. Penangkapan aktivis, kriminalisasi simbol identitas, dan pembungkaman suara dipersepsikan bukan sebagai penegakan hukum netral melainkan sebagai penindasan politik—menciptakan “moral shock” (S. Tarrow & J. Jasper, 1998) yang mendorong individu dan kelompok untuk bertindak[35].
Reproduksi perlawanan ini bersifat struktural, artinya bukan sekadar akibat dari tindakan aparat tertentu, tetapi tersirat dan tertanam dalam kerangka kebijakan, narasi negara, dan mekanisme kelembagaan yang tidak mengakui akar historis dan politik Papua. Negara terus mengulang siklus yang sama: merespons protes dengan militerisasi, merespons ekspresi identitas dengan kriminalisasi, meredam kritik dengan stigmatisasi—yang kemudian memperkuat narasi bahwa Papua tidak dilayani oleh negara sebagai pelindung, melainkan dijajah dan ditekan. Ini menciptakan lingkaran tertutup di mana represi memproduksi perlawanan, dan perlawanan—ketika tidak ditangani secara substantif—dipakai sebagai justifikasi represi berikutnya[36].
Selain itu, dokumentasi pelanggaran HAM oleh lembaga independen—baik nasional seperti Komnas HAM, maupun internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch—membentuk arsip memori kolektif yang tidak mudah dihapus[37]. Dalam kerangka social memory seperti yang dikemukakan oleh Pierre Nora (1989)[38], catatan-catatan tersebut menjadi lieux de mémoire—tempat ingatan yang menyimpan bukti-bukti represi dan memperkuat narasi historis rakyat Papua kepada generasi baru dan audiens global. Kemajuan teknologi informasi dan media sosial menambah dimensi baru: kesaksian yang dulu bisa disembunyikan kini tersebar luas, memperkuat legitimasi moral gerakan di arena internasional dan memberikan bahan refleksi serta adaptasi strategi kepada aktor lokal[39].
Dengan demikian, perlawanan Papua tidak semata diwariskan secara pasif, melainkan diperbarui secara aktif. Generasi baru belajar dari luka lama, menyesuaikan taktik, dan menyusun kembali narasi berdasarkan pengalaman kolektif yang terus diperbaharui oleh represi itu sendiri. Reproduksi struktural perlawanan adalah proses dialektis: tindakan negara menciptakan kondisi yang memupuk resistensi, dan resistensi itu kemudian menuntut pengakuan atas ketidakadilan—membentuk dinamika yang hanya bisa diubah bukan dengan pelabelan atau kekerasan, tapi dengan pengakuan sejarah, keadilan substansial, dan dialog bermartabat.
Label KKP: Instrumen Dominasi Simbolik dan Kekuasaan Negara
Alih-alih menyelesaikan akar konflik Papua melalui pendekatan dialogis dan berkeadaban, negara justru terus mereproduksi mekanisme kekuasaan simbolik dengan cara memberi label-label baru terhadap perjuangan Papua. Salah satu label terbaru yang mencuat adalah Kelompok Kriminal Politik (KKP)[40], yang tidak hanya menunjukkan pergeseran istilah teknis, tetapi sekaligus merupakan bentuk baru dari violence of categorization—kekerasan dalam bentuk pelabelan yang tampak administratif, namun berdampak politis dan represif secara sistemik[41]. Konsep ini dapat dipahami melalui kerangka Pierre Bourdieu (1991) tentang symbolic power, yakni kekuasaan yang beroperasi secara halus melalui bahasa, pelabelan, dan klasifikasi sosial[42]. Negara, dalam hal ini, tidak hanya menggunakan kekerasan fisik (physical violence), tetapi juga symbolic violence—yaitu kekuasaan untuk menentukan siapa yang disebut “penjahat”, “teroris”, “pengacau”, atau kini “kriminal politik”. Pelabelan ini bukanlah deskripsi objektif, tetapi bagian dari strategi dominasi yang memungkinkan negara untuk melegitimasi kekerasan struktural tanpa harus menyentuh akar masalah sebenarnya.
Penggunaan label seperti GPK, KKB, KST, dan kini KKP, mengabaikan dimensi historis, kultural, dan spiritual dari perjuangan Papua yang telah dibahas pada enam poin sebelumnya. Ia juga memperkuat apa yang disebut Michel Foucault (1975) sebagai regime of truth—kekuatan negara untuk memproduksi dan mengendalikan kebenaran melalui institusi hukum, militer, dan media. Dalam Discipline and Punish, Foucault menunjukkan bahwa sistem kekuasaan modern tidak hanya menghukum tubuh, tetapi juga mengendalikan narasi tentang siapa yang “berbahaya” dan siapa yang “normal”[43]. Label KKP bekerja dalam kerangka itu: menormalkan kekerasan negara dan mendiskreditkan tuntutan sah rakyat Papua.
Kritik ini juga relevan dengan Giorgio Agamben (2005) dalam teorinya tentang homo sacer dan state of exception, yakni bahwa negara modern memiliki kemampuan untuk mengeluarkan individu atau kelompok dari perlindungan hukum—menjadikan mereka “telanjang secara politis”, yang bisa disakiti tanpa konsekuensi hukum[44]. Dengan memberi label “kriminal politik”, negara menciptakan zona abu-abu hukum tempat rakyat Papua bisa dibungkam, dipenjara, bahkan dibunuh, tanpa pertanggungjawaban, karena mereka telah diklasifikasikan sebagai “non-subjek politik”.
Secara praktis, pelabelan KKP memiliki beberapa implikasi serius. Pertama, menghapus makna politik dari perjuangan Papua dan menggantinya dengan kerangka kriminalisasi (mengulang pola kolonial). Kedua, memperkuat pendekatan militeristik yang mengabaikan instrumen sipil dan mekanisme rekonsiliasi. Ketiga, melemahkan ruang demokrasi bagi mahasiswa, aktivis, jurnalis, dan masyarakat adat yang menyuarakan aspirasi merdeka atau sekadar keadilan. Keempat, melanggengkan siklus trauma dan resistensi, yang telah dijelaskan sebelumnya dalam reproduksi struktural perlawanan[45].
Lebih jauh lagi, jika dilihat dalam konteks teori strukturalisme kultural dari Stuart Hall (1997), pelabelan ini mencerminkan strategi cultural encoding oleh negara Negara[46]. Negara mengkodekan perjuangan Papua sebagai “bahaya laten” bagi integritas nasional, dan narasi ini diproduksi secara terus-menerus di ruang media, institusi keamanan, hingga sistem pendidikan, sehingga masyarakat luas menerima narasi tersebut sebagai kebenaran mutlak.
Dalam hubungan dengan enam poin sebelumnya, pelabelan KKP tentu mengaburkan sejarah politik Papua dan menutupi kolonialisme yang menjadi akar konflik, mengabaikan fakta ketimpangan struktural dan marginalisasi sistemik yang terus berlanjut, mendelegitimasi bentuk perlawanan kultural dan komunitas lokal yang tidak bersenjata, menyumbat saluran ekspresi politik generasi muda Papua yang semakin vokal, menginjak-injak simbol spiritual dan eksistensial perjuangan rakyat Papua, dan memperkuat siklus kekerasan struktural yang mereproduksi perlawanan secara terus-menerus.
Dengan demikian, label “Kelompok Kriminal Politik” bukan hanya istilah administratif, tetapi merupakan senjata ideologis negara untuk melucuti legitimasi perjuangan Papua. Ia beroperasi dalam kerangka kekuasaan simbolik (Pierre Bourdieu), logika pengecualian (Giorgio Agamben), produksi kebenaran (Michel Foucault), dan pengendalian narasi budaya (Stuart Hall). Label ini tidak menyelesaikan masalah, justru memperumit konflik dan memperdalam luka yang belum pernah disembuhkan.
Keniscayaan Sejarah yang Terus Diperbarui
Perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri bukanlah ledakan sesaat dari ketidakpuasan, melainkan manifestasi dari sejarah panjang penjajahan, peminggiran, dan penghinaan terhadap identitas kolektif mereka sebagai sebuah bangsa. Sejak awal 1960-an, rakyat Papua tidak pernah sepenuhnya menerima integrasi paksa ke dalam NKRI, terutama melalui proses Act of No Choice yang melahirkan luka sejarah yang belum sembuh hingga hari ini[47].
Luka ini tidak berdiri sendiri, melainkan diperparah oleh ketidakadilan ekonomi, diskriminasi rasial, marjinalisasi sosial, dan pendekatan militeristik negara. Semua itu menyatu dalam kesadaran rakyat bahwa perjuangan mereka bukan hanya tentang kemerdekaan teritorial, melainkan soal memulihkan martabat, merawat spiritualitas tanah leluhur, dan menuntut pengakuan atas eksistensi sebagai manusia yang setara. Seperti yang dibilang Desmond Tutu, “If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor” (Jika kamu bersikap netral dalam situasi ketidakadilan, berarti kamu telah memilih berpihak kepada penindas)[48].
Uniknya, perjuangan ini tidak bergantung pada kekuatan eksternal, tetapi justru tumbuh dari akar masyarakat sendiri—dari kesadaran anak muda, kekuatan simbol dan spiritualitas, hingga keberanian untuk melawan meski tanpa senjata modern. Bahkan dalam kondisi represif, negara justru menciptakan reproduksi struktural perlawanan, di mana setiap tindakan kekerasan memperkuat semangat rakyat untuk tidak tunduk dan terus melawan. Begitu juga yang dibilang Malcolm X bahwa, “You can’t separate peace from freedom because no one can be at peace unless he has his freedom” (Kamu tidak bisa memisahkan perdamaian dari kebebasan, karena tidak ada seorang pun yang bisa hidup damai jika ia tidak memiliki kebebasannya)[49].
Apa yang berlangsung di Papua juga menunjukkan bagaimana narasi tandingan—baik melalui seni, agama, pendidikan, hingga media sosial—telah menjadi bentuk “hidden transcript” sebagaimana dijelaskan oleh James C. Scott (1990), yaitu wacana perlawanan yang berkembang diam-diam di balik dominasi kekuasaan[50]. Dalam jangka panjang, perlawanan seperti ini berpotensi menjadi kontra-hegemoni (Antonio Gramsci, 1971), yaitu kesadaran kolektif yang menolak legitimasi kekuasaan yang tidak adil.
Dengan demikian, perjuangan Papua bukan sekadar urusan politik kontemporer, tapi persoalan historis dan eksistensial. Selama negara tidak mengakui dan memulihkan akar masalah sejarah dan ketidakadilan yang diwariskan, perjuangan ini akan terus hidup—diperbaharui oleh generasi baru, disuarakan di berbagai ruang, dan diperkuat oleh luka yang terus membara. Frantz Fanon mengatakan, “Each generation must discover its mission, fulfill it or betray it” (Setiap generasi harus menemukan misinya, menunaikannya atau mengkhianatinya)[51].
Papua is not moved by propaganda, but by a deep memory of injustice and the unfulfilled dignity of a people. (Papua tidak bergerak karena propaganda, tetapi oleh ingatan mendalam akan ketidakadilan dan martabat yang belum dipulihkan.
***
Pustaka
[1] Brown, Robert McAfee (ed.). Unexpected News: Reading the Bible with Third World Eyes. Doubleday, 1984. Halaman 19
[2] Alberto Melucci, “The Process of Collective Identity,” dalam Social Movements and Culture, Disunting oleh Hank Johnston & Bert Klandermans (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995). Halaman 41–63.
[3] John Saltford, The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962–1969: The Anatomy of Betrayal (London: Routledge, 2003). Halaman 180–89.
[4] Jeffrey C. Alexander et al., Cultural Trauma and Collective Identity (Berkeley: University of California Press, 2004). Halaman 1–30, terutama bagian pembuka oleh Alexander yang merumuskan definisi trauma kolektif.
[5] Anthony D. Smith, Myths and Memories of the Nation (Oxford: Oxford University Press, 1999), Introduction. Halaman 9–13.
[6] Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 1983). Halaman 6–7.
[7] Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge and the Discourse on Language, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972). Halaman 215–220.
[8] Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990). Halaman 39–65.
[9] David Harvey, The New Imperialism (Oxford: Oxford University Press, 2005). Halaman 137–182.
[10] Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999). Halaman 3–11.
[11] Fanon, F. (1961). The Wretched of the Earth. Grove Press. Bab 1: Halaman 2.
[12] Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977). Halaman 135–140.
[13] Nancy Fraser, “Rethinking Recognition: Overcoming Displacement and Reification in Cultural Politics,” New Left Review 3 (May–June 2000). Halaman 107–120.
[14] Ivan Arreguín-Toft, “How the Weak Win Wars: A Theory of Asymmetric Conflict,” International Security 26, No. 1 (2001). Halaman 93–128.
[15] Stathis N. Kalyvas, The Logic of Violence in Civil War (Cambridge: Cambridge University Press, 2006). Halaman 87–90.
[16] Mark S. Granovetter, “The Strength of Weak Ties,” American Journal of Sociology 78, No. 6 (1973). Halaman 1360–1380.
[17] Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970). Bab 2.
[18] James C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (New Haven: Yale University Press, 1985). Halaman 29–30.
[19] Alberto Melucci, Nomads of the Present: Social Movements and Individual Needs in Contemporary Society (Philadelphia: Temple University Press, 1989). Halaman 59–65.
[20] Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” dalam Essays on the Sociology of Knowledge: Collected Works, Vol. 5 (London: Routledge, 1952) Halaman 525–526 (esai asli diterbitkan dalam Kölner Vierteljahreshefte für Soziologie und Sozialpsychologie 2 (1928): 157–184).
[21] Michel Foucault, Language, Counter‑Memory, Practice: Selected Essays and Interviews, ed. Donald F. Bouchard (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1977/1980), Bab “Nietzsche, Genealogy, History” dalam bagian Counter‑Memory: the Philosophy of Difference.
[22] Linda Tuhiwai Smith, Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples (London: Zed Books; Dunedin: University of Otago Press, 1999).
[23] Arnold Ap dan Mambesak: Menyanyikan Hati Nurani Tanah Papua, Tirto.id, 2021.
[24] Johan Galtung, “Violence, Peace and Peace Research,” Journal of Peace Research 6, No. 3 (1969). Halaman 170–171.
[25] James C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (New Haven: Yale University Press, 1985). Halaman 29–30.
[26] Linda Tuhiwai Smith, Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples (London: Zed Books, 1999). Halaman 110–115.
[27] Anthony D. Smith, The Ethnic Origins of Nations (Oxford: Blackwell, 1986). Halaman 174–180.
[28] Anthony P. Cohen, The Symbolic Construction of Community (London: Routledge, 1985). Halaman 13–34.
[29] Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace (Cambridge, MA: South End Press, 2005). Halaman 11–29.
[30] Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1971). Halaman 22–45.
[31] Jeffrey C. Alexander, Toward a Theory of Cultural Trauma, dalam Cultural Trauma and Collective Identity, ed. Jeffrey C. Alexander et al. (Berkeley: University of California Press, 2004). Halaman 1–30.
[32] Johan Galtung, “Violence, Peace, and Peace Research,” Journal of Peace Research 6, No. 3 (1969). Halaman 167–191.
[33] Paul Farmer, Pathologies of Power: Health, Human Rights, and the New War on the Poor (Berkeley: University of California Press, 2004). Halaman 1–29.
[34] Jeffrey C. Alexander et al., Cultural Trauma and Collective Identity, ed. Jeffrey C. Alexander et al. (Berkeley: University of California Press, 2004). Halaman 1–30.
[35] Charles Tilly, From Mobilization to Revolution (New York: McGraw-Hill, 1978); Simon Tarrow, Power in Movement: Social Movements, Collective Action and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
[36] Christian Davenport, State Repression and the Domestic Democratic Peace (Cambridge: Cambridge University Press, 2007).
[37] Amnesty International, “Don’t bother, just let him die”: Killing with impunity in Papua (London: Amnesty International, 2018).
[38] Pierre Nora, “Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire,” Representations 26 (1989). Halaman 7–24.
[39] Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017). Halaman 8–14.
[40] Label ‘KKP’ Ancam Demokrasi Sipil di Papua, Aktivis Tolak Stigmatisasi Operasi Damai Cartensz,” Detik Papua, 22 Juli 2025.
[41] Amnesty International Indonesia, “Indonesia: ‘Your Fight Is Not Over’ – Ongoing Human Rights Violations in Papua,” 2022.
[42] Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), Halaman xvii–xxi.
[43] Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995). (Originally published 1975.
[44] Giorgio Agamben, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, trans. Daniel Heller-Roazen (Stanford, CA: Stanford University Press, 1998). Halaman 8–11.
[45] “Operasi ke Kelompok Kriminal Politik Dikhawatirkan Berangus Ekspresi Politik Rakyat Papua,” Republika Online, 10 Januari 2024.
[46] Hall, Stuart. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage Publications, 1997.
[47] Saltford, John. “The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962–1969: The Anatomy of Betrayal.” London: RoutledgeCurzon, 2003.
[48] Desmond Tutu, Oxford Essential Quotations, edisi kelima (Oxford University Press, 2017), entri “If you are neutral in situations of injustice …” (dikaitkan dengan pernyataan sebelum tahun 1986).
[49] Malcolm X, Malcolm X Speaks: Selected Speeches and Statements, ed. George Breitman (New York: Grove Press, 1965). Halaman 23.
[50] James C. Scott, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (New Haven: Yale University Press, 1990), xii.
[51] Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Constance Farrington (New York: Grove Press, 1963). Halaman 145.
Tulisan luar biasa tapi coba tulis lebih ke spesifik nya, maksudnya,,, kurangi yg lebihh banyak narasi kurang produktif itu,,, sya tahu ini agitasi yg bagus tapi hormat terimakasih