Pilihan Redaksi Kritik Terhadap Agama di Papua

Kritik Terhadap Agama di Papua

-

Masalah agama adalah masalah yang tidak bisa diabaikan oleh siapapun yang mengingingkan perubahan dalam suatu masyarakat. Sebab, bagaimana pun juga, agama memegang peran penting dalam kontrol kesadaran massa rakyat. Untuk merubah kesadaran massa, menjadikannya kekuatan pendorong revolusi, maka masalah agama harus didiskusikan.

Dalam konteks Papua, tidak ada ideologi lain yang lebih mendominasi dibanding Teologi Kristen. Sejak pertama kali diperkenalkan tahun 1855, paham ini tumbuh menjadi satu-satunya kekuatan ideologi dan sumber penentu kebenaran. Anda hanya perlu mengutip satu ayat Alkitab dan mengaitkannya dengan persoalan yang dihadapi, maka kebenaran dianggap telah terungkap dan selesai. Tidak ada pertanyaan, apalagi penyelidikan lebih lanjut.

Ini mendominasi sepanjang akhir Abad ke-19 di beberapa wilayah kecil, utamanya di wilayah pesisir, dan hanya setelah beberapa usaha dari para misionaris, misalnya Christian and Missionary Alliance (CAMA), wilayah pegunungan sentral akhirnya ditaklukkan dan mengalir dalam arus yang sama. Sejak saat itu hingga hari ini, Kristen menguasai Papua dan menjadi satu-satunya ideologi utama dalam menjelaskan masalah-masalah yang terjadi dan demikian juga jalan keluarnya.

Masalah cuaca, masyarakat di wilayah Ayamaru percaya bahwa musim kemarau tahun 1982 adalah hukuman Tuhan. Sementara beberapa sumber air yang masih tersedia dan beberapa sumber daging dan sayuran, adalah bukti kasih Tuhan. Di tempat-tempat lain juga demikian halnya. Pada suatu waktu, saya bertanya kepada tante saya: mengapa laut tidak penuh, padahal semua sungai mengalir kesana!? Tante saya menjawab: karena Tuhan telah menggariskan batas air laut dari daratan.

Tahun 2018 seorang mama yang berhasil keluar dari wilayah konflik Ndugama, dalam sebuah kesaksian di Jayapura menyatakan bahwa, “Itu semua bukan karena kuat dan gagahnya, tetapi berkat pertolongan Tuhan.” Selpius Boby, Ketua Jaringan Doa Papua, sampai hari ini masih bertapa di Goanya mencari petunjuk Tuhan sebab ia percaya bahwa penjajahan Indonesia di atas tanah Papua terjadi atas izin Tuhan, dan oleh karena itu, harus ada pertobatan dan pemulihan agar Papua merdeka.

“Kita tahu sekarang,” tulis Paulus dalam Roma 8:28 bahwa, “Allah turut bekerja dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.”

“Segala sesuatu dapat kutanggung di dalam Dia.” dalam Filipi 4:13.

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua akan ditambahkan kepadamu.” dalam Matius 6:33.

Sampai hari ini, tak terhitung banyaknya KKR bertemakan pemulihan di Papua. Menghadapi kekacauan, demoralisasi, operasi militer, pembunuhan, kemiskinan, solusinya adalah KKR dan doa pemulihan. Kristen bukan hanya menyediakan seperangkat penjelasan atas sebuah fenomena, tetapi juga solusi—yaitu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tetapi, apakah ini benar? Jawaban atas pertanyaan tersebut tidaklah penting, intinya adalah percaya. Tetapi percaya dan kebenaran adalah dua hal yang berbeda (kita akan membahas ini di bagian selanjutnya). Kristen mengajarkan bahwa bumi datar, tetapi fakta membuktikan bahwa bukan demikian. Manusia bukan dari tanah, tetapi dari monyet. Begitupun hal lainnya dalam doktrin Alkitab yang tidak sesuai dengan bukti-bukti terkini.

Namun begitu, selama berabad-abad kita dididik untuk tidak mempertanyakan keabsahan Alkitab dan menerimanya sebagai kebenaran tak terbantahkan. Konsekuensi dari dogmatisme demikian adalah kelumpuhan terhadap logika rasional. Anda tidak perlu repot-repot mengembangkan kapasitas intelektual, sebab Agama tidak membutuhkan itu. Iman percaya adalah syarat mutlak menjadi Kristen.

Lagi pula, berkembangnya intelektual/logika rasional seseorang berarti matinya mistisme di sisi lain. Agama tidak mentolerir itu, sehingga kemampuan nalar kritis atau logika rasional harus dimatikan demi kejayaan mistisme. Sejarah perkembangan umat manusia selama Abad Pertengahan membuktikan itu. Dimana Agama memasung sains, dan doktrin Alkitab menjadi pedoman utama manusia hingga Abad Pencerahan.

Hari ini di Papua, kondisi demikian yang terjadi. Dimana doktrin Alkitab mendominasi, sementara ideologi lainnya tidak mendapat tempat. Kondisi ini hanya dapat dijelaskan dalam dua hal: pertama, terputusnya akses sains ke Papua dan, kedua, agama adalah doktrin yang mudah dicerna dan memberi penghiburan bagi jiwa-jiwa yang terpatahkan.

Kontak langsung Papua dengan bangsa asing adalah melalui agama dan kekerasan. Kolonialisme menggunakan agama untuk membujuk rayu rakyat Papua, sementara senjata untuk menghukum siapa saja yang tidak dapat ditaklukan lewat rayuan agama. Disini tidak ada sains. Walaupun sekolah-sekolah didirikan, tetapi semuanya diarahkan hanya untuk melayani kekuasaan, yaitu menebarkan ideologi penguasa untuk menalukkan bangsa terjajah, sekaligus mereproduksi tenaga kerja yang siap melayani sistem.

Ketika rakyat Indonesia berkobar dalam api revolusioner (yang juga adalah ideologi kritis memainkan peran dominan), Papua tetap merupakan wilayah koloni Belanda yang terisolasi. Dan ketika Papua dipaksa bergabung dengan Indonesia di tahun 1969, sains bersama dengan generasinya telah dibantai tahun 1965. Sehingga rakyat Papua yang baru saja lepas dari keterisolasiannya, tidak mencicipi sains, dan justru kemudian masuk ke dalam isolasi baru dibawah pimpinan Soeharto yang reaksioner.

Tahun 1998 Soeharto digulingkan, tetapi kondisi yang sama masih tetap mendominasi. Sains dibatasi aksesnya ke Papua, dan hanya tetes-tetes yang merembes ke Papua. Ini disuplai lewat badan-badan swadaya masyarakat, dan bukan negara. Tetapi juga berkat bantuan generasi Papua yang pergi keluar dari Papua. Adalah fakta bahwa hari ini aliran pengetahuan yang masuk ke Papua tidak ada, kecuali lewat media online dan Gramedia misalnya, yang telah disensor oleh negara.

Kenyataan ini dapat dijelaskan bahwa: negara memang sengaja agar rakyat Papua tetap dalam keadaan demikian supaya status quo tetap bertahan. Kebodohan adalah keutungan bagi penguasa dan kutukan bagi yang dikuasai. Ini adalah esensi dari alasan mengapa Papua tetap harus diisolasi.

Kedua, agama adalah doktrin yang tidak membutuhkan kecakapan intelektual untuk dapat menguasainya. Atau dengan kata lain, ia tidak membutuhkan suatu usaha yang sulit untuk dapat memahaminya. Berbeda dengan sains, agama hanya memerlukan ‘percaya’. Anda hanya perlu percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah tanpa perlu bukti. Ini sepenuhnya berbeda dengan sains, dimana A+A=A hanya bisa dipercaya apabila cukup bukti pendukungnya.

Ketika agama hadir, ia hanya menyingkirkan aspek mistisme tradisional Papua dan memasok mistisme yang baru. Dari bobot kualitas, keduanya setara. Percaya kepada pohon yang memiliki roh setara dengan Adam adalah manusia pertama. Keduanya tidak memiliki bukti, namun dipaksakan sebagai kebenaran. Filsuf setara Bertrand Russell dalam bukunya Free Thought and Official Propaganda menulis bahwa, ini adalah masa kanak-kanak pikiran manusia yang harus ditinggalkan guna memberi akses bagi kedewasaan manusia dapat berdiri (Bertrand Russell, 1922).

Selain itu, agama memberi kebutuhan bagi jiwa yang patah di Papua. Ia merupakan tempat pelarian, opium yang menenangkan ketika kehidupan ditindas dan nampaknya pelik. Anda tidak perlu memikirkan soal mengapa gaji dipotong atau tanah yang dirampas, sebab kesusahan adalah cara Tuhan menguji ketaatan umatnya. Lupakan itu dan carilah dahulu Kerajaan Allah. Bersyukurlah dalam segala hal, sebab Tuhan itu baik. Ini adalah obat penawar yang membuat tidur lelap dan sakit ‘disembuhkan’ secara palsu.

Hari ini, apabila Anda berkeliling Papua, Anda akan menyaksikan bahwa jumlah gereja lebih banyak dibanding galeri seni atau laboratorium. Bahkan, seni atau laboratorium nampaknya dianggap bukan sebagai sesuatu yang penting. Ini dapat dijelaskan bahwa irasional telah mencapai titik daruratnya di Papua. Surga, alam yang baka, bahkan lebih penting dibanding kehidupan nyata hari ini. Ini terjadi berbarengan dengan meningkatnya penindasan di Papua.

Muncul pula macam-macam sekte-sekte rohaniah Kristen yang menganggap dirinya paling benar. Tetapi, ketika Anda bertanya, siapa yang paling benar? Bahkan ketika Anda atau mereka memilih salah satu di antara sekte-sekte tersebut, tidak ada satupun yang bisa dipertanggunjawabkan secara meyakinkan menurut bukti-bukti. Dan memang, bagaimana bisa membuktikan sesuatu yang tidak ada? Mustahil.

Oleh sebab itu, semua sekte bisa dikatakan hanya terdiri dari klaim, dan tidak ada satu pun yang berdiri di atas bukti. Mengapa aliran ini benar dibanding aliran yang sana? Kita tidak tahu. Tetapi, setiap anak tumbuh dan menjadi percaya, pertama, oleh karena orang tua dan lingkungannya. Anda akan menjadi Kingmi atau Baptis apabila Anda berada di wilayah pegunungan sentral, begitupun GKI atau kharismatik lainnya apabila di daratan rendah. Memang ada perkecualian, tetapi rata-rata demikian.

Ini bukan kasus pertama, tetapi sejarah semua agama memang demikian. Anda kemungkinan besar akan menjadi Islam apabila lahir di Timur Tengah. Demikian halnya akan menjadi Katolik apaila Anda lahir di Paraguay. Faktor lingkungan dan kebiasaan memainkan peran penting dalam keyakinan dan bukan berdasarkan pada bukti-bukti ilmiah. Agama memang tidak mendasarkan dirinya pada bukti, tetapi pada kepercayaan irasional membabi-buta.

Lalu, apa gunanya menjadi seorang beragama yang saleh? Tidak ada sama sekali, kecuali ketakutan akan bakaran api neraka dan penebusan dosa serta surga yang permai. Tetapi apakah ini benar? Sekali lagi, tidak perlu bukti, Anda hanya harus mempercayainya. Dan hanya itu, selebihnya agama tidak membantu apa-apa. Sejarah seluruh dunia membuktikan itu.

Sains yang dipelopori pertama kali oleh Thales di Ionia, kemudian ditekan oleh kebangkitan Katolik dan Kristen. Sains berjalan di tempat, bahkan hampir mati. Umat manusia diredam dalam kebodohan dan mistisme selama ribuan tahun (476-1492 M). Dan hanya setelah penemuan oleh Nicolaus Copernicus yang diikuti sejumlah temuan besar lainnya termasuk teori Evolusi oleh Charles Darwin, umat manusia akhirnya melompat dari lumpur kebodohan menuju cahaya permai.

Apa kontribusi agama dalam kemajuan umat manusia? Atau, apa sumbangsih agama selama Abad Pertengahan ketika ia mendominasi seluruh jagat raya bumi manusia? Tidak ada sama sekali. Hanya karena berkat implus sains yang maha dahsyat dan pengabdian tanpa henti dari pencintanya, umat manusia dapat bertransformasi dari satu tahap ke tahap lainnya yang lebih tinggi.

Bahkan sekarang pun demikian, seluruh kemajuan besar yang diperoleh oleh manusia adalah berkat pertolongan sains. Revolusi-revolusi besar yang mendobrak tatananan lama dan mencoba visi masyarakat baru adalah berkat bantuan sains. Mulai dari Revolusi Perancis tahun 1789 hingga Reformasi Indonesia tahun 1998 membuktikan itu. Tanpa sains, tidak ada kemajuan.

Ketika Kristen memasuki Papua, ia diterima tanpa pertanyaan apapun. Tidak ada pertanyaan mengenai asal-usulnya, perannya dalam sejarah, termasuk ekonomi-politik di baliknya. Pertanyaan yang sama: apa kontribusi agama bagi Papua? Ia memang mengeluarkan Papua dari fase kebuasan, tetapi bukannya kepada kemerdekaan, justru menjerumuskan kepada ketundukkan yang baru terhadap dogmatisme yang melumpuhkan.

Disebut melumpuhkan sebab agama menghambat kemajuan ilmu pengetahuan, mempromosikan ketundukkan, kepasrahan, dan ketergantungan terhadap kekuatan gaib di luar manusia atau dalam bahasa yang lebih saintifik disebut: mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Ini pada giliranya menciptakan manusia budak yang siap diperbudak demi akumulasi kekayaan kelas-kelas yang memegang kendali produksi saat ini. Agama adalah racun yang menenangkan kaum tertindas demi kejayaan kaum penindas.

Berdasarkan pada kenyataan itu, maka tidak ada keraguan apapun untuk mengatakan bahwa: sama seperti sebelumnya, pada masa kini pun demikian; agama tidak akan membawa kemajuan apapun dalam kehidupan manusia, termasuk tentunya massa rakyat Papua yang ditindas dan dieksploitasi. Hanya ketika penghambat ini ditinggalkan, yaitu agama—sebuah cahaya harapan bisa digapai.

Kritik Para Filsuf Terhadap Agama

Sering kali karena alasan politik, Marx dibesar-besarkan sebagai anti Tuhan. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa hampir seluruh filsuf sejak Renaisans telah meragukan sepenuhnya keberadaan Tuhan. Nama-nama seperti Immanuel Kant, David Hume, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, Bertrand Russell, hingga Jean-Paul Sartre menyatakan keraguannya terhadap keberadaan Tuhan. Bahkan Friedrich Nietzsche memproklamirkan kematian Tuhan.

Sigmund Freud, Bapak Psikonalisis modern dalam bukunya The Future of an Illusion (1927) menulis bahwa, “Agama adalah ilusi dan mimpi yang tertua, terkuat, dan terus menerus datang kepada umat manusia” (Sigmund Freud, 1927). Sementara David Hume dalam bukunya Dialogues Concerning Natural Religion menyatakan bahwa,Mujizat adalah suatu pelanggaran terhadap hukum alam” (David Hume, 1779). Bertrand Russell belakangan juga menambahkan dalam bukunya Uncertain Paths to Freedom: Rusia and China, 1919-22 bahwa, “Agama adalah seperangkat keyakinan yang dipegang sebagai dogma, menguasai perilaku kehidupan, melampaui atau bertentangan dengan bukti, dan ditanamkan dengan metode yang emosional atau authoritarian, bukan dengan metode intelektual” (Bernard Russell, 2000).

Tetapi apakah kita dapat menerima kritik para filsuf sebagai sebuah kebenaran karena alasan otoritas mereka dalam ilmu pengetahuan dan filsafat? Tentu saja tidak. Sebab, apabila diperlakukan demikian, maka kita telah menciptakan dogma baru seperti halnya kita menerima Alkitab tanpa keraguan. Sikap meragukan adalah sikap filosifs yang paling utama. Ia harus menjadi suatu cara hidup dan metode dalam mendekati semua diskursus.

Sikap meragukan harus mengatur semua pengetahuan yang dimiliki berkaitan dengan orang dan gagasan-gagasan yang membentuk other hari ini. Sebab, bila sikap ini tidak ada, dogmatisme mengakar, kejahatan terjadi, dan peperangan meletus dengan mengatasnamakan kebenaran yang tidak boleh dipertanyakan. Para filsuf paling jenius pun harus didekati melalui sikap ini.

Mengapa para filsuf modern mayoritas meragukan keberadaan Tuhan? Pertama, sebab tidak ada bukti mengenainya. Semua bukti sejarah yang jujur tidak menemukan adanya tanda-tanda keberadaan Tuhan. Bahkan Teori Desain Cerdas yang mendekati kebenaran pun tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan. Sehingga filsafat pun mengikuti alur sains.

Bukti antropologi terbaru menunjukkan bahwa umur Homo Sapiens adalah 300.000 tahun. Sejak kemunculannya pertama kali, Tuhan modern tidak dikenal sama sekali. Auguste Comte dalam The Positive Philosophy (1853) telah memetakan secara kasar tahap perkembangan pemikiran manusia, bahwa tahap pertama adalah teologis. Disini objek-objek fisik dianggap dan diperlakukan seolah-olah mereka hidup.

Kemudian datanglah fase simplifikasi secara gradual terhadap animisime plurallistis yang radikal itu. Sekarang dewa-dewa dikonsepsikan sebagai kekuatan yang gaib atau setengah gaib yang mengedalikan seluruh golongan fenomena. Lalu datanglah monoteistis dimana konsolidasi dewa tunggal yang lebih tinggi menggantikan semua dewa. Disinilah Tuhan Abrahamik, Dewi Athena, dan sebagainya menggantikan semua Tuhan-Tuhan terdahulu.

Bertrand Rusell dalam History of Western Philosphy (1945) berhasil melacak perkembangan ini dan menunjukkan bahwa Katolik, Kristen, Islam, dan sebagainya baru muncul belakangan dan merupakan hasil upaya pengembangan manusia. Sehingga tidak heran, baik Voltaire, Ludwig Feuerbach, dan Friedrich Nietszche mendeklarasikan bahwa pada mulanya manusia menciptakan Tuhan, dan bukan manusia diciptakan oleh Tuhan.

Anda tidak perlu mencari terlalu jauh untuk menguji kebenaran tesis-tesis di atas. Anda hanya perlu melihat bahwa sebelum Agama Abrahamik memasuki Papua, nenek moyang kita lebih dulu percaya kepada gunung, batu, pohon, binatang, dan sebagainya—sebagai sebuah roh. Indonesia telah mengganti kepercayaan dari Hindu, Budha, sebelum menjadi Islam mayoritas.

Apa yang terjadi terhadap Tuhan-Tuhan sebelumnya? Ia berhenti eksis tepat ketika manusia berhenti percaya kepadanya; dan menjadi hidup tepat ketika kita mulai mempercayainya. Eksistensinya bergantung pada mental manusia, dan tidak di luarnya. Tuhan Kristen berhenti eksis tepat ketika Cristian Gonzales[1] memutuskan untuk tidak mempercayainya dan Tuhan Islam jadi hidup ketika tepat ia mulai mempercayainya.

Apa jadinya ketika semua manusia berhenti percaya kepada Tuhan? Eksistensinya pun akan berhenti. Ini berbeda ketika saya berhenti percaya bahwa atom itu tidak ada, tetap atom itu eksis dalam menyusun alam raya. Kedua kasus ini membuktikan bahwa yang satu eksis (ada), sementara yang lainnya tidak. Keberadaan Tuhan bergantung pada ‘percaya’ dalam mental manusia, sementara atom pada keber(ada)annya. Ini membuktikan proklamasi para filsuf bahwa Tuhan sebagai karya buatan manusia adalah kebenaran yang bisa dibuktikan.

Filsuf Ludwig Feuerbach menulis dalam Fifty Key Thinkers on History yang dikutip Marnie H. Warrington, bahwa, “Agama ortodks adalah aral yang menghalangi manusia mencapai kebebasan. Tuhan, ditemukan oleh manusia sebagai proyeksi dari gagasan-gagasan mereka sendiri, sebuah penemuan yang mengasingkan manusia dari watak mereka sendiri” (dalam Marnie H. Warrington, Fifty Key Thinkers on History, 2015).

Bangsa Israel membuat lembu dari Emas dan memujanya sebagai Tuhan. Kultus Kargo di Pasifik, bahkan gambar Pangeran William dipuja. Apa yang nampak disini adalah, Tuhan dibuat dan kemudian disembah. Manusia membuat Tuhan mereka, lalu kemudian merendahkan seluruh kemampuannya kepada barang ciptaannya sebagai sumber kekuatan dan pertolongan. Inilah yang dimaksud sebagai mengasingkan manusia dari dirinya sendiri.

Seluruh agama modern memiliki asal-usul yang sama: ia dikembangkan oleh manusia. Dalam Alkitab kita menemukan berulang kali contoh-contoh hasil kerja otak manusia yang kemudian diyakini sebagai Tuhan. Penglihatan Yohanes di Kitab Wahyu misalnya, adalah 100% hasil kerja otak manusia dalam kondisi tidak terjaga dan kemudian dijadikan sebagai dogma.

Sigmund Freud dalam bukunya The Interperetation of Dream (1899) telah menyapu semua kekonyolan mengenai mimpi dan meletakkan dasar sains mengenainya. Bahwa mimpi tidak lain adalah hasil kerja otak manusia dalam kondisi tubuh sedang tidak terjaga. Mimpi hanyalah reka ulang atas kejadian sebelumnya yang pernah ditemui, reflek fisik terhadap benda sekitar, atau rekaman lebih lanjut dari apa yang telah Anda pikirkan. Pendeknya, mimpi bukan surat dari Tuhan.

Agama dikritik bukan hanya karena ketiadaan bukti dan sejarah kelamnya di masa lalu, tetapi efeknya yang mematikan hingga hari ini. Agama membunuh semangat manusia untuk mencari kedalaman pengetahuan dan menjerat intelektual manusia sehingga tetap stagnan. Perkembangan pikiran manusia hanya terjadi apabila dogmatisme agama dihapuskan. Ini berarti, agama harus angkat kaki.

Bertrad Russell dalam Has Religion Made Useful Contributions to Civilization? menulis, “Agama mencegah anak-anak kita memiliki pendidikan yang rasional; agama mencegah kita mengetahui penyebab dasar perang; agama mencegah kita dari kerjasama ilmiah menggantikan ajaran-ajaran dosa dan hukuman yang ganas. Ada kemungkinan bahwa manusia berada di ambang masa keemasan; tetapi, jika demikian, akan diperlukan terlebih dahulu untuk membunuh naga yang menjaga pintu, dan naga ini adalah agama” (Bertrad Russell, 1929).

Friedrich Nietzsche juga dalam The Spoke Zarathustra menulis demikian, bahwa “Perbuatannya sendiri masih membayangi dirinya. Perbuatan masih membayangi pelaku. Dia masih belum mengatasi perbuatannya. Tuhan adalah sebuah pikiran. Tapi aku ingin kalian lebih kuat dari ciptaan kalian …”

“Kehidupan ingin menundudukkan dirinya tinggi-tinggi dengan tiang-tiang dan tangga-tangga. Ia ingin memandang ke kejauhan dan kecemerlangan dunia yang menggairahkan—itulah sebabnya ia harus tinggi. Dan karena ia memerlukan ketinggian, ia memerlukan tangga dan pergantian tangga dengan panjatan! Kehidupan ingin mendaki dan dalam mendaki, ia mengatasi dirinya” (Friedrich Nietzsche, 1883).

Tetapi, bagaimana dengan mujizat? Ya, mujizat selalu diklaim sebagai bukti keberadaan Tuhan. Namun sebagaimana sudah kita sebutkan di atas bahwa, Dvid Hume menyatakan mujizat adalah pelanggaran terhadap hukum alam. Untuk membuktikan ini, Hume menyatakan bahwa segala sesuatu di alam terjadi menurut hukum sebab-akibat. Tidak ada yang kebetulan dan semua saling terhubung.

Seorang anak yang tumbuh menjadi dewasa, bukan karena kiriman zat dari dari Dewa, tetapi perpindahan zat dari putih telur, ikan, sayuran, dan sebagainya—yang ia makan. Seorang miskin yang kelaparan, tidak akan kenyang walaupun Anda mengucapkan 1000 kali kata kenyang. Seekor semut di bawah sepatu bot, biar pun 1000 kali Anda berdoa, apabila bot itu ditempatkan di atas semut—ia akan mati (Tan Malaka, 1951).

Disini tidak ada yang kebetulan, semua terjadi menurut hukum-hukum alam dan mempunyai penyebab-penyebab pasti yang bisa dibuktikan. Anda mungkin berprestasi, atau tiba-tiba dikirimi uang, ini bukanlah mujizat. Tetapi itu adalah hasil belajar Anda dan hasil kedamawanan orang lain. Yang itu berarti, ia memiliki sebab-sebab yang pasti.

Apa yang yang disebut mujizat adalah klaim orang yang telah beriman. Apabila kepalaku telah dicekcoki doktrin agama, maka semua hal adalah hasil kerja tangan Illahi. Selamat dari kecelakaan itu bukan karena saya menggunakan sabuk atau helm, tetapi karena berkat pertolongan Tuhan. Begitulah orang beriman dalam kehidupan mereka, semua hal direduksi menjadi perbuatan Sang Dewa.

Keyakinan dan Kebenaran

Seluruh agama mendasarkan dirinya atas keyakinan. Tetapi, apa yang disebut ‘keyakinan’ tidak berarti selalu sama dengan ‘benar’. Yakin adalah aktivitas mental manusia. Dan seluruh kehidupan intelektual manusia memang bersandar pada keyakinan, dan dari satu keyakinan ke keyakinan yang lainnya dengan apa yang disebut ‘alasan’.

Yakin memberi kepada manusia kebenaran dan kesalahan. Dan untuk memberi penilaian akhir, dibutuhkan alasan-alasan yang bukan terletak pada kehendak sepihak manusia, tetapi pada relasi manusia dan objek itu sendiri. Kehidupan non manusia ada lebih dulu selama jutaan tahun sebelum manusia berevolusi. Dan untuk tetap eksis, syaratnya alam harus dipahami.

Nenek moyang kita pertama kali mencoba memberi makna kepada alam. Melalui serangkaian uji coba, kegagalan, dan keberhasilan, memberi kepada mereka satu keyakinan kepada keyakinan yang lain. Api adalah ada mahluk hidup yang menyengat. Tapi lambat laun, keyakinan ini kemudian direvisi. Guntur adalah adalah tongkat Dewa menghantam langit. Tapi lambat laun, keyakinan ini kemudian direvisi. Jelas disini bahwa keyakinan bisa saja mengandung kesalahan.

Saya akan memperjelas analisis ini lebih lanjut dengan mengikuti metode yang dikembangkan oleh Bertrand Russell. Dalam The Analysis of Mind (1921) Ia menulis:

“Apa yang membuat sebuah keyakinan benar atau salah saya sebut ‘fakta’. Fakta tertentu yang membuat suatu kepercayaan yang diberikan benar atau salah saya sebut ‘objektif’, dan hubungan kepercayaan dengan tujuan saya sebut ‘referensi’ atau ‘referensi objektif’ dari keyakinan. Jadi jika saya percaya bahwa Columbus menyebrangi Atlantik pada tahun 1492, ‘tujuan’ keyakinan saya adalah pelayaran Columbus yang sebenarnya, dan ‘referensi’ keyakinan saya adalah hubungan antara keyakinan saya dan pelayaran itu, yaitu, dalam pelayaran yang membuat keyakinan saya benar (atau di lain kasus, salah). ‘Referensi’ kepercayaan berbeda dari ‘arti’ kata dalam berbagai cara, tetapi terutama dalam kenyataan bahwa itu terdiri dari dua macam, referensi ‘benar’ dan referensi ‘salah'”.

Rusell melanjutkan:

“Kebenaran dan kesalahan sebuah kepercayaan tidak tergantung pada sesuatu yang hakiki pada keyakinan, tetapi pada sifat hubungannya dengan tujuannya. Sifat kepercayaan yang hakiki dapat diperlakukan tanpa mengacu pada apa yang membuatnya benar atau salah.” (Bertrand Russell, 1922, hal 295)

Marilah kita beri satu contoh yang lebih sederhana untuk memperjelas bagian ini. Pada suatu waktu saya ‘yakin’ bahwa Perancis pernah menduduki Papua pada abad 18 dan J. J. Dozy adalah penemu Emas di Gunung Nemangkawi. Dalam dua kasus tersebut saya ‘meyakini’ adalah keadaan dalam mental saya, sementara kedua kasus tersebut adalah di luar saya. Maka untuk memutuskan bahwa kedua kasus tersebut benar atau salah adalah ditentukan oleh apa yang disebut oleh Russell sebagai ‘referensi objektif’ atau alasan-alasan yang memberi kepada saya apa yang disebut ‘fakta’.

Apakah Prancis pernah menduduki Papua dan Dozy adalah penemu Emas di Papua? Benar atau salah dalam kedua kasus ini bukan ditentukan semata-mata oleh mental saya (betapa pun saya mempercayainya), tetapi pada referensi atau alasan-alasan yang menghubungkan mental saya dan fakta-fakta tersebut. Faktanya Prancis tidak pernah menduduki Papua dan benar Dosy adalah penemu Emas di Papua. Dalam kedua kasus ini, benar dan salah terletak dalam tindakkan Dozy atau fakta di Abad ke-18 dan bukan pada apa pun yang ada atau di bawah kendali saya.

Semua keyakinan kepada Tuhan adalah aktivitas mental manusia. Saya yakin bahwa agama saya benar, sementara Mr X yakin bahwa agamanya benar. Kemudian datang Mr Y dan Mr Z yang masing-masing mengemukakan hal serupa. Maka dalam semua kasus ini, masing-masing mempertahankan apa yang ada di dalam mental mereka, dan masing-masing memaksakan bahwa ia lah yang paling baik. Padahal, seperti sudah kita lihat, kebenaran atau kesalahan bukan tergantung pada saya atau dia, tetapi eksis di luar kami semua.

Apabila Anda memperhatikan semua sekte-sekte Kristen hari ini, atau agama versus agama, maka keadaan demikian yang terjadi. Masing-masing saling mengklaim bahwa mentalnya yang paling benar dibanding yang lain. Dan oleh karena tidak ada sesuatu yang objektif di luar sana, serta masing-masing mempertahankan mental mereka dan tentunya Kitab yang dianggap suci, maka perdebatan ini tidak akan berakhir.

Bagaimana bisa mengakhiri semua ini? Hanya bisa terjadi apabila kita membuka pikiran kita dan menerima kenyataan bahwa kebenaran dan kesalahan bukan ditentukan oleh mental kita, tetapi eksis di luar kita. Seperti kata Piytagoras, aku hanya percaya kepada sesuatu apabila aku membuktikannya. Apakah ada Tuhan? Bertrand Russell dalam pepernya Is There a God? menjawab:

“Kesimpulan saya adalah bahwa tidak ada alasan untuk mempercayai dogma-dogma teologi tradisional dan, lebih jauh, bahwa tidak ada alasan untuk berharap bahwa itu benar. Manusia, sejauh tidak tunduk pada kekuatan alam, bebas untuk menentukan nasibnya sendiri. Tanggung jawab adalah miliknya, begitu juga kesempatan” (Bertrand Russell, 1952).

***

Pustaka

Russell, Bertrand. 1922. Free Thought and Official Propaganda. South Place Institute, London.

Freud, Sigmund. 1927.  The Future of an Illusion. Hogarth Press, London.

Hume, David. 1779. Dialogues Concerning Natural Religion. M. DCC, London.

Russell, Bertrand. 2000. Uncertain Paths to Freedom: Rusia and China, 1919-22. Psychology Press, Hove, East Sussex, Inggris, hal. 197.

Comte, Auguste. 1830. The Positive Philosophy.

Rusell, Bertrand. 1946. History of Western Philosphy. George Allen & Unwin, Inggris.

Marnie H. Warrington mengutip Ludwig Feuerbach dalam Fifty Key Thinkers on History, hal. 413.

Freud, Sigmund. 1899. The Interperetation of Dream. Franz Deuticke, Wina, Austria.

Malaka, Tan. 1951. Madilog. Penerbit Widjaya, Jakarta.

Russell, Bertrand. 1921. The Analysis of Mind. George Allen & Unwin, Inggris, hal. 295.

Russell, Bertrand. 1952. Is There a God? Pinguin Books.

Referensi

[1] Cristian Gonazales adalah pesepakbola asal Urugay yang dinaturalisasi menjadi warga negara Indonesia pada 2010. Tahun 2003 ia mengganti kepercayaannya dari Katolik menjadi Islam setelah menikah dengan seorang muslim asal Indonesia.

Musell M. Safkaur
Penulis adalah aktivis Papua di Ayamaru, Maybrat, Papua Barat Daya dan anggota Organisasi Kaum Muda Sosialis (OKMS).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kritik Terhadap Agama di Papua

Masalah agama adalah masalah yang tidak bisa diabaikan oleh...

Kekerasan Negara Terhadap Warga Berambut Gimbal di Papua

Tanah Papua terus menjadi saksi bisu atas kekerasan yang terjadi dalam bayang-bayang operasi militer. Di sejumlah wilayah yang disebut...

Perang West Papua Tiada Ujung

Prabowo Subianto pertama kali menorehkan nama sebagai pimpinan militer Indonesia lewat upaya menjegal perjuangan kemerdekaan Timor Timur. Kini dia...

Buku Saku: Apa Kabar ULMWP?

Kami terbitkan buku saku terbaru Apa Kabar ULMWP? bertepatan pada sidang KTT MSG hari ini, Senin, 23 Juni 2025...

Rakyat Papua Bersatu, Lawan Abisai Rollo!

Abisai Rollo—budak Indonesia yang hari ini menjabat sebagai Wali Kota Jayapura baru saja mengeluarkan pernyataan menyesatkan yang merusak persatuan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan