Analisa Harian Kekerasan Negara Terhadap Warga Berambut Gimbal di Papua

Kekerasan Negara Terhadap Warga Berambut Gimbal di Papua

-

Tanah Papua terus menjadi saksi bisu atas kekerasan yang terjadi dalam bayang-bayang operasi militer. Di sejumlah wilayah yang disebut sebagai daerah konflik, aparat keamanan melakukan penangkapan, penyiksaan, hingga pembunuhan terhadap warga sipil dengan dalih keamanan negara. Dalam banyak kasus, tuduhan terhadap warga sipil dilakukan tanpa proses hukum yang adil, bahkan hanya berdasarkan penampilan fisik mereka.

Salah satu ciri fisik yang sering dijadikan dasar kecurigaan adalah rambut gimbal. Di Papua, rambut gimbal bukan sekadar gaya, melainkan bagian dari identitas budaya dan ekspresi diri sebagian orang muda. Namun, kenyataannya tak sedikit dari mereka yang berambut gimbal justru menjadi sasaran kekerasan karena dianggap bagian dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: mengapa rambut gimbal—sebuah ekspresi budaya—bisa dijadikan alasan untuk menstigmatisasi seseorang sebagai musuh negara? Apa yang sebenarnya terjadi ketika identitas budaya dianggap sebagai ancaman?

Tulisan ini bertujuan untuk mengurai hubungan antara stigma, identitas budaya, dan kekerasan negara terhadap warga sipil Papua. Dengan membedah bagaimana tubuh dan penampilan dijadikan alat ukur loyalitas, kita akan melihat bagaimana negara turut membentuk kekerasan melalui proses dehumanisasi terhadap warganya sendiri.

Rambut Sebagai Identitas: Perspektif Biologis dan Budaya

Secara biologis, rambut adalah struktur protein yang tumbuh dari folikel di kulit. Ia memiliki fungsi dasar seperti melindungi kulit kepala dari sinar matahari, menjaga suhu tubuh, dan menjadi bagian dari sistem sensorik tubuh manusia. Namun, di luar fungsinya secara fisiologis, rambut memegang peranan yang jauh lebih dalam kehidupan sosial dan budaya manusia.

Dalam berbagai kebudayaan, rambut bukan sekadar elemen fisik, melainkan simbol identitas, ekspresi diri, dan bahkan status sosial. Cara seseorang memperlakukan dan menata rambutnya sering kali mencerminkan nilai, kepercayaan, dan keterikatan dengan komunitas tertentu. Rambut dapat menjadi bentuk perlawanan, bentuk penghormatan terhadap leluhur, atau pernyataan tentang siapa diri seseorang di tengah masyarakat.

Dalam konteks sosial dan budaya, rambut seringkali menjadi medium perjuangan dan afirmasi identitas kelompok yang mengalami diskriminasi atau penindasan. Salah satu contoh yang paling dikenal adalah gerakan Black Power di Amerika Serikat pada tahun 1960-an dan 1970-an. Gerakan ini menjadikan rambut afro—rambut alami yang dibiarkan mengembang—sebagai simbol perlawanan terhadap standar kecantikan kulit putih yang selama ini mendominasi masyarakat dan media. Dengan membiarkan rambut mereka tumbuh alami, para aktivis dan pendukung gerakan ini tidak hanya menolak norma-norma estetika yang menindas, tetapi juga menegaskan kebanggaan dan identitas kulit hitam mereka. Rambut afro menjadi lambang pemberdayaan diri dan penolakan atas diskriminasi rasial yang sistemik.

Selain itu, dalam budaya Rastafari di Jamaika, dreadlocks atau rambut gimbal dianggap sebagai perpanjangan dari jiwa dan spiritualitas. Para pengikut Rastafari membiarkan rambut mereka menggimbal secara alami sebagai bentuk penghormatan terhadap ajaran agama mereka dan sebagai simbol kebebasan dari penindasan budaya barat. Mereka memandang rambut sebagai bagian dari ciptaan Tuhan yang tidak boleh dirusak atau dipotong sembarangan.

Tak hanya itu, di berbagai masyarakat adat di Nusantara dan belahan dunia lain, rambut panjang sering dikaitkan dengan kedewasaan, kekuatan, atau penghormatan terhadap tradisi. Di beberapa suku di Papua, rambut adalah bagian dari tubuh yang tidak boleh dipotong sembarangan karena dianggap memiliki kekuatan spiritual. Dalam konteks ini, rambut bukan hanya milik individu, tetapi juga milik komunitas, terikat pada nilai-nilai kolektif yang diwariskan secara turun-temurun.

Melihat dari sudut pandang ini, mereduksi rambut menjadi tanda kecurigaan atau ancaman adalah bentuk pengingkaran terhadap nilai budaya dan kemanusiaan seseorang. Rambut adalah identitas dan memperlakukannya sebagai bukti keterlibatan dalam konflik bersenjata berarti mengkriminalisasi identitas itu sendiri.

Rambut Gimbal dalam Budaya Papua

Di Papua, rambut gimbal bukan sekadar gaya rambut—ia adalah bagian dari ekspresi diri dan simbol kebanggaan atas identitas lokal. Bagi sebagian orang muda Papua, membiarkan rambut tumbuh secara alami hingga menggimbal merupakan bentuk penerimaan terhadap warisan tubuh dan budaya mereka sendiri. Dalam konteks ini, rambut gimbal mencerminkan keberanian untuk tampil apa adanya, tanpa tunduk pada standar kecantikan yang ditentukan dari luar.

Beberapa komunitas dan individu di Papua memang memilih untuk menggimbal rambut mereka, bukan karena keterkaitan dengan kelompok bersenjata, melainkan sebagai bagian dari gaya hidup atau nilai-nilai budaya yang mereka anut. Hal ini bisa menjadi simbol perlawanan terhadap homogenisasi budaya, serta bentuk penghormatan terhadap identitas kepapuaan yang kuat.

Sayangnya, keberadaan rambut gimbal seringkali disalahartikan. Tidak semua orang yang memiliki rambut gimbal terlibat dalam perlawanan bersenjata atau aktivitas politik. Stigma semacam itu tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya karena dapat mengarah pada diskriminasi, kriminalisasi, bahkan kekerasan terhadap warga sipil yang tidak bersalah. Rambut gimbal seharusnya dipandang sebagai bagian dari keragaman sosial dan budaya di Papua, bukan sebagai ancaman terhadap negara.

Dengan memahami makna rambut gimbal secara kultural dan personal, kita bisa melihatnya bukan sebagai simbol bahaya, melainkan sebagai ekspresi dari jati diri, harga diri, dan kebebasan berekspresi masyarakat Papua.

Kekerasan dan Stigmatisasi oleh Negara

Di Papua, rambut gimbal kerap dijadikan alasan aparat untuk menangkap, menyiksa, bahkan membunuh warga sipil. Rambut yang sejatinya merupakan ekspresi budaya dan identitas, justru sering dikaitkan dengan dugaan keterlibatan dalam kelompok bersenjata atau TPN-PB, meski tanpa bukti hukum yang sah. Stigma ini menghasilkan kekerasan sistemik yang terus berulang dan menimpa warga tidak bersalah.

Pada Agustus 2019 di Jayapura, seorang mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) bernama Alfa Hisage ditangkap saat mengikuti aksi damai menolak rasisme. Ia mengalami kekerasan fisik, dipukuli, dan rambut gimbalnya dipotong paksa oleh aparat sebagai bentuk penghukuman simbolik. Dalam kesaksiannya kepada media, Alfa mengaku hanya satu dari enam belas ikatan rambut gimbalnya yang tersisa setelah tindakan represif tersebut. Kepalanya berdarah dan ia mengalami trauma psikologis akibat kejadian itu.

Maret 2023, aparat gabungan menangkap tiga warga sipil di Kampung Pinbinom, Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, hanya karena mereka berambut panjang gimbal dan mengenakan gelang bergambar Bintang Kejora — atribut yang secara keliru dikaitkan dengan simbol separatis. Menurut laporan LBH Papua tidak ada bukti keterlibatan ketiganya dalam aktivitas bersenjata. Aman Yikwa dari Pokja Adat MRP menegaskan bahwa peristiwa ini mencerminkan kriminalisasi terhadap identitas budaya, bukan tindakan berdasarkan proses hukum.

Sementara itu, pada Oktober 2024 di Kabupaten Intan Jaya, aparat TNI Yonif 509 menangkap seorang warga dengan gangguan kejiwaan (ODGJ) bernama Alex Sondegau (30 tahun) di depan Pos Kodim Kampung Mamba. Ia dituduh sebagai kombatan meskipun tidak bersenjata dan tidak terkait dengan kelompok bersenjata manapun. Juru bicara TPNPB-OPM menyatakan bahwa insiden ini adalah salah tangkap, didasarkan pada asumsi visual tanpa dasar hukum yang jelas.

Ketiga insiden ini menegaskan bahwa penampilan fisik—khususnya rambut gimbal—telah dipakai oleh negara sebagai tolak ukur ancaman, bukan melalui prosedur hukum yang adil. Padahal, bagi banyak orang Papua, rambut gimbal adalah bagian penting dari keberagaman budaya dan ekspresi diri, bukan simbol pemberontakan atau kekerasan. Stigmatisasi semacam ini memperkuat sikap represif dan merusak kepercayaan antara warga sipil dan negara. Rambut gimbal bukan senjata, yang berbahaya adalah penggunaan stereotip visual sebagai dasar kekerasan negara.

Kriminalisasi Penampilan dan Hilangnya Ruang Aman

Ruang untuk mengekspresikan identitas dan budaya perlahan menghilang ketika negara menyamakan simbol-simbol budaya dengan simbol perlawanan. Rambut gimbal, pakaian tradisional, atau ornamen khas yang dulunya menjadi bentuk ekspresi diri, kini dikriminalisasi dan dianggap sebagai tanda keterlibatan dalam gerakan separatis. Penampilan fisik tidak lagi dipahami sebagai keragaman, melainkan diperlakukan sebagai potensi ancaman.

Dalam konteks ini, identitas visual dijadikan dasar kecurigaan sistemik. Aparat keamanan sering kali menilai warga bukan berdasarkan tindakan atau bukti, tetapi dari cara mereka tampil. Orang muda yang berambut gimbal atau mengenakan atribut lokal kerap dicurigai, diawasi, dan dalam banyak kasus mengalami intimidasi, penangkapan, bahkan kekerasan. Pola ini menandakan adanya kriminalisasi penampilan yang merusak prinsip keadilan dan hak asasi manusia.

Dampaknya sangat dirasakan oleh anak-anak muda. Mereka tumbuh dalam rasa takut, terpaksa menyembunyikan bagian dari dirinya demi keselamatan. Ekspresi diri menjadi sesuatu yang berisiko dan pilihan untuk tampil apa adanya berubah menjadi keputusan yang penuh konsekuensi. Ketakutan ini menciptakan trauma kolektif dan menghapus rasa aman di ruang-ruang yang seharusnya melindungi mereka—sekolah, rumah, dan komunitas.

Ketika cara berpakaian atau gaya rambut dijadikan dasar kekerasan, maka yang dirusak bukan hanya kebebasan berekspresi, tetapi juga rasa percaya terhadap negara. Mengembalikan ruang aman berarti mengakui bahwa identitas kultural adalah bagian dari hak dasar warga negara, dan tidak seharusnya dijadikan target kecurigaan. Rasa aman dimulai dari pengakuan terhadap hak untuk menjadi diri sendiri tanpa rasa takut.

Stigmatisasi terhadap rambut gimbal dan ekspresi budaya masyarakat Papua harus segera dihentikan. Rambut gimbal bukan simbol perlawanan, bukan tanda kejahatan, dan bukan alasan untuk ditakuti. Ia adalah bagian dari identitas, warisan budaya, dan ekspresi diri yang sah. Selama negara terus melihatnya sebagai ancaman, maka kekerasan terhadap warga sipil akan terus berlangsung atas dasar yang keliru.

Negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi identitas budaya warganya, bukan mengkriminalkannya. Ketika institusi keamanan memperlakukan simbol budaya sebagai musuh, maka negara sedang gagal memahami keragaman yang seharusnya dirangkul. Yang dibutuhkan bukan senjata, melainkan pemahaman—bahwa rambut, pakaian, dan cara seseorang mengekspresikan dirinya bukan indikator bahaya, melainkan bagian dari kemanusiaannya.

Pertanggungjawaban atas kekerasan terhadap warga sipil tidak bisa ditunda. Para pelaku harus diadili secara adil, dan institusi harus dibenahi agar pelanggaran serupa tidak terulang. Di saat yang sama, pendidikan bagi aparat keamanan tentang keberagaman budaya menjadi hal mendesak. Tanpa pemahaman tentang konteks sosial dan budaya masyarakat yang mereka jaga, kekuasaan akan terus disalahgunakan.

Gimbal bukan senjata. Ia bukan peluru. Ia adalah rambut. Dan rambut bukan alasan untuk membunuh.

***

Novella Wetipo
Penulis adalah Co-Founder The Papuan Movements

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kekerasan Negara Terhadap Warga Berambut Gimbal di Papua

Tanah Papua terus menjadi saksi bisu atas kekerasan yang...

Perang West Papua Tiada Ujung

Prabowo Subianto pertama kali menorehkan nama sebagai pimpinan militer Indonesia lewat upaya menjegal perjuangan kemerdekaan Timor Timur. Kini dia...

Buku Saku: Apa Kabar ULMWP?

Kami terbitkan buku saku terbaru Apa Kabar ULMWP? bertepatan pada sidang KTT MSG hari ini, Senin, 23 Juni 2025...

Rakyat Papua Bersatu, Lawan Abisai Rollo!

Abisai Rollo—budak Indonesia yang hari ini menjabat sebagai Wali Kota Jayapura baru saja mengeluarkan pernyataan menyesatkan yang merusak persatuan...

Salah Tangkap, Lakukan Kekerasan, dan Hanya Minta Maaf?

"Dipukul hingga kelingking patah, hanya berakhir dengan minta maaf". Pada Desember 2020 malam, patroli Polisi melakukan pemeriksaan di salah satu...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan