Prabowo Subianto pertama kali menorehkan nama sebagai pimpinan militer Indonesia lewat upaya menjegal perjuangan kemerdekaan Timor Timur. Kini dia menjadi presiden –dan pemerintahannya melancarkan perang kolonial lain di Papua.
***
Pada September 2024, pilot Susi Air, Philip Mehrtens dibebaskan setelah penangkapan selama sembilan belas bulan lamanya oleh tentara pembebasan Papua Barat dan pulang ke Selandia Baru. Penculikan Mehrtens adalah trauma personal dan pukulan berat bagi keluarga dan kawan-kawannya. Di kalangan masyarakat setempat, kawasan pegunungan tengah terkenal akan maraknya pelanggaran HAM, krisis pengungsi, dan perang kolonial yang terang-terangan. Bagi gerakan pembebasan, kehadiran Mehrtens adalah peluang.
Salah satu narasumber yang tergabung dalam program bantuan daerah untuk pengungsi di Kabupaten Nduga menyampaikan, “Ketika Mehrtens masih di pegunungan tengah, sempat ada perhatian terhadap konflik ini.” Tambahnya, “Seorang laki-laki kulit putih berada di antara orang-orang Papua, memang dalam penangkapan, tapi dia menapak tanah dan jalan yang sama dengan para pengungsi, warga yang melarat, dan gerakan pembebasan.” Tentu, “Orang-orang bersimpati dengannya, dan sudah sewajarnya begitu; dia tidak bisa pulang menemui orang-orang tercintanya. Namun, di saat yang sama, kasus Mehrten memaksa banyak orang untuk memikirkan kami yang hidup di sini, yang juga ingin leluasa berpergian–untuk bebas, untuk merdeka, untuk mengembalikan kehidupan kami.”
Ketika Mehrtens meninggalkan Papua dengan kehebohan media di Jakarta, media Barat juga sedang gaduh. Fokus mereka terpaku kepada hal lain. Namun, momen itu terjadi bersamaan dengan kekejaman terhadap kemanusiaan di Gaza yang mengalami kelaparan massal dan blokade dari akses bantuan, di Yaman yang menghadapi pengepungan dan serangan Amerika Serikat, begitu juga di Ukraina.
Mehrtens dibebaskan di dekat Yuguru, salah satu desa di Nduga yang dijadikan lokasi pengungsian terakhir bagi para pengungsi internal atau Internally Displaced Peoples (IDP), lantaran konflik yang meletus di penghujung 2018. Waktu itu, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) menyerang lokasi pembangunan Trans Papua, mega proyek yang ketika rampung akan membentangkan jalur aspal sepanjang 4.325 Km di Papua. Serangan yang menewaskan sejumlah orang Indonesia yang menjadi pekerja proyek tersebut berbuntut pada operasi militer Indonesia terbesar setelah pendudukan Timor Timur pada 1975. Meski berhadapan dengan dugaan penggunaan senjata kimia, serangan udara secara masif, dan pengerahan ribuan personel di markas militer terpencil, TPNPB-OPM tetap melanjutkan perlawanan bersenjata.
Penangkapan Mehrtens juga merupakan aib besar bagi elite politik di Jakarta, juga simbol kegagalan militer untuk “mengamankan” dan “menjinakkan” Papua dengan angkatan bersenjata. Tak berselang lama setelah pelepasan Mehrtens, presiden baru Indonesia resmi menjabat, Prabowo Subianto, setelah terpilih berkat agenda populis nasional. Dia meraih nyaris 60 persen suara pemilih, dibantu dengan fakta bahwa wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, adalah putra pendahulunya, Joko “Jokowi” Widodo yang sangat populer.
Sejak menjabat, Prabowo telah, “memperparah penggunaan kekerasan dan angkatan bersenjata secara berlebih,” menurut Theo Hesegem, pembela hak asasi manusia. “Kekerasan di pegunungan tengah Papua meningkat drastis.” sampainya.
Lebih parahnya lagi, imbuhnya, lonjakan pengerahan ribuan personal militer sudah berada di luar kendali presiden, membuka lebar peluang bagi angkatan bersenjata di daerah terpencil melancarkan kekejaman dan kejahatan kemanusiaan terhadap warga sipil tanpa senjata dan perlindungan tanpa diadili hukum. Tak lama setelah pembebasan Mehrtens, “operasi rahasia TNI” menyisir seluruh penjuru Yuguru, dan Abral Wandikbo (27) yang tertuduh aktivis kemerdekaan diculik, dibunuh, dimutilasi, dan kemudian ditemukan jasadnya di area kebun warga.
Laporan dari berbagai kawasan terpencil di pegunungan tengah membuktikan pernyataan Hesegem bahwa penculikan, pembunuhan di luar hukum (summary executions) dan mutilasi adalah “pola dari metode kerja TNI” di Papua, dan nasib naas Abral Wandikbo “hanya” satu dari sekian banyak di kawasan ini. Para saksi memperlihatkan laporan dan dokumentasi foto telinga, mulut, hidung, dan testis yang dimutilasi: kejahatan yang menyasar warga sipil oleh satuan TNI yang menyusuri kelompok-kelompok pengungsi tepat setelah serangan udara massif kiriman pemerintahan pusat di Jakarta.
“Aparat militer sama sekali tidak membedakan warga sipil dengan TPNPB-OPM,” ucap Hesegem.
Papua masih menjadi kawasan konflik terisolasi. Tidak bisa diakses Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), organisasi kemanusiaan internasional, jurnalis independen, dan organisasi bantuan kemanusiaan. Di sisi lain, gereja lokal dan pemerintah daerah yang kurang memadai harus menghadapi krisis kelaparan yang sangat mengkhawatirkan, kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan, dan sekitar 60.000 hingga 100.000 IDP menurut Kantor Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia atau Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR). “Semua ini sungguh tak berkesudahan bagi para pengungsi internal,” kata Hesegem.
Sejak 2018, sepanjang konflik antara tentara pembebasan dan militer Indonesia berkobar dahsyat, tak terhitung lagi warga sipil tewas akibat peluru, ledakan bom, kelaparan, dan penyakit. “Tujuh tahun lamanya, banyak pengungsi tewas akibat tidak ada layanan kesehatan untuk mereka,” tambahnya. Semakin banyak aktivis Papua dan akademisi hak asasi manusia internasional yang melabeli kezaliman terhadap sipil ini sebagai ‘genosida perlahan’ atau slow-motion genocide.
Pertama, Hesegem menekankan, kita harus memahami dampak jangka panjang dari kolonialisme hari ini. Tidak ada akses kesehatan maupun pendidikan yang mempersiapkan generasi muda di pegunungan tengah untuk menyongsong masa depan —hari esok yang masih berkabut akibat operasi militer Indonesia yang berlarut-larut dalam pengejaran para personel gerakan pembebasan yang lincah meski kalah persenjataan, yang mana markas mereka berada di gunung dan hutan besar di pedalaman Papua.
Kedua, Papua tampaknya akan terus dikolonisasi Indonesia, setelah Jakarta menolak permintaan gerakan-gerakan pembebasan Papua untuk menggelar referendum yang dimediasi oleh PBB berkenaan dengan status masa depan sisi barat New Guinea ini. Setelah aneksasi militer Indonesia atas tanah Papua pada 1969, referendum korup yang dibeking PBB, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), memperkuat kendali Jakarta atas kawasan yang kaya sumber daya alam. Kontrol Jakarta atas Papua telah membuat investor dan perusahaan minyak sawit, tembaga, besi, dan kehutanan bergelimang kekayaan. Sebaliknya, hal ini membawa malapetaka sosial, budaya, dan lingkungan bagi masyarakat. Freeport, salah satu sumber pemasukan Indonesia yang paling cuan, telah mencemari sungai, tanah, dan danau dengan polusi.
Proyek Trans Papua bertujuan untuk mengunci rapat rapat nasib Papua sebagai proyek Indonesia, memudahkan pemerintah pusat untuk mengatur masalah over populasi di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dengan yang digadang-gadang sebagai program transmigrasi berskala masif. Hal ini melanggengkan perampasan tanah di Papua yang diserahkan untuk pendatang (settlers), menyerahkan hak atas tanah kepada mereka yang tidak berpunya di wilayah lain di Indonesia tapi meminggirkan orang Papua sebagai warga kelas dua di tanah mereka sendiri.
Menurut para pemangku kebijakan daerah, di antara mereka ada yang orang Indonesia sejak lahir dan tumbuh besar di Papua, Trans Papua dinilai sebagai “kejahatan yang diperlukan” demi pembangunan, pekerjaan, dan infrastruktur sosial dan politik yang diperlukan bagi sudut terpencil di timur Indonesia. Salah satu narasumber – politikus Indonesia Kota Jayapura, pendukung Trans Papua –memandang proyek ini sebagai “bagian dari pembangunan Papua yang berkelanjutan, manusiawi, dan memberadabkan.”
Baginya, jalan raya bukanlah sekadar investasi masif dalam infrastruktur fisik, melainkan juga investasi jangka panjang bagi “ketahanan sosial”, di mana “modernitas dan kapitalisme akan melindungi orang-orang Papua dari diri mereka sendiri, dari tradisi hidup zaman batu mereka.”
Akan tetapi, dia menilai “penggunaan kekerasan yang terinstitusionalisasi” terhadap gejolak sosial adalah pertanda kelemahan dan kurangnya pemahaman tentang keinginan masyarakat untuk terlibat secara sosial dan politik dalam pembangunan Papua. “Ini dilema tak berkesudahan,” katanya. “Pemerintah tidak bisa serta-merta merespons masalah keamanan dan ketertiban hanya dengan pola pikir keamanan. Kita semua harus memposisikan diri sebagai rakyat NKRI. Kalau tidak begitu, kita hanya akan memicu perlawanan berkepanjangan, mau seperti apapun proyek pembangunannya.”
Mau sebaik apapun tabiat para pemangku kebijakan Indonesia, mereka tetap tidak menghadirkan stabilitas finansial dan rasa saling memiliki dalam identitas nasional bagi masyarakat Papua.
Justru, kekayaan sumber daya alam seperti tembaga, bijih, emas, kayu, perikanan menjadi berkah di tempat lain, tetapi menyisakan pulau yang hutannya dibabat habis dan diaspal di sana sini. Perampasan ekonomi ini mempertegas klaim “genosida perlahan” yang terus berlangsung, sebagaimana dalam laporan Sydney University pada 2013. Ini juga senada dengan apa yang disuarakan Benny Wenda, pimpinan pembebasan Papua yang menjadi eksil di London, yang menautkan penderitaan orang-orang Papua dengan pendudukan Indonesia di Timor Timur seperempat abad lamanya. Pendudukan ilegal sokongan Amerika Serikat ini bermula dari invasi skala masif yang dilancarkan tak lama setelah rakyat Timor Timor merdeka dari penjajahan Portugal pada 1975. Pendudukan ini dipimpin oleh Prabowo, mantan menteri pertahanan dan presiden Indonesia saat ini.
Pada 1980-an, dia pergi ke Timor Timur bersama pasukan khusus, dan berbagai kesaksian menyoroti tindak kekejamannya selama berada di sana. Selain kejahatan kemanusian Prabowo di Timor Timur dan perannya atas kebiadaban yang sedang terjadi di Papua, dia juga bertanggung jawab atas tewasnya sipil di Pulau Jawa pada 1998, selama lengsernya rezim diktator Soeharto yang tak lain adalah mertuanya.
Ironis rasanya Prabowo —yang berlumuran darah kelompok minoritas, pembela demokrasi, serta pejuang kemerdekaan Papua dan Timor-Timur –memperoleh kekuasaan politik sah berkat sistem demokrasi yang dulu dia tumpas mati-matian sebagai seorang tokoh kunci dalam rezim Orde Baru pimpinan Soeharto (1967–1998). Keberhasilannya berasal dari dukungan generasi muda, “Yang kurang teredukasi tentang masa lalu negara di bawah kediktatoran militer,” tulis Frances Mao pasca kemenangannya dalam pemilu.
Naiknya Prabowo di tampuk kepemimpinan politik adalah cerminan kebangkitan otoritarianisme di seluruh dunia, didorong nasionalisme kanan-jauh. Di Amerika Serikat, menjabat kembalinya Donald Trump menandai datangnya apa yang Naomi Klein dan Astra Taylor sebut sebagai “fasisme akhir zaman”. Sementara itu, pada 2022, Italia memperingati satu abad Pawai Roma (arak-arakan Benito Mussolini pada 1922 yang menandai dengan awal kekuasaan fasisnya) lewat pelantikan perdana menteri pertama yang berasal dari partai neofasis.
Di Asia Tenggara, Prabowo bukanlah satu-satunya contoh kebangkitan politik dari masa lalu. Di Filipina, Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. mempertontonkan kepada dunia bahwa putra mantan presiden yang terkenal diktator dan korup bisa merebut kursi politik tertinggi. Bongbong menang telak dalam Pemilu 2022. Dan, persis wakil presiden yang digandeng Prabowo, Sara Duterte, juga anak dari presiden sebelumnya, Rodrigo Duterte.
Pada akhirnya, resolusi atas situasi genting hak asasi manusia di Papua tidak semata-mata bergantung dengan seruan sukarela dan humanistik di kalangan elite ekonomi dan politik di Jakarta. Hal ini juga menyangkut komitmen publik internasional, yang sejak 1960-an mengabaikan perampasan sistematis atas sumber daya alam Papua yang menumbalkan masyarakat sipil.
Salah seorang warga Papua mengatakan (dia ingin identitasnya anonim), “Kami sedang dibantai habis. Orang-orang Indonesia jelas-jelas tidak mau menerima keberadaan kami di sini. Mereka mau kita hilang, mati, atau pergi. Tapi kami bisa pergi ke mana? Ini tanah kami.”
Hesegem terus mendokumentasikan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia di pegunungan tengah dan tetap menjadi sumber informasi penting bagi dunia di luar tanah Papua. Di Nduga, dekat kampung Yuguru, di mana para pengungsi internal bermukim pasca meletusnya konflik bersenjata pada akhir 2018, TNI terus menyisir area untuk melacak para penculik dan siapapun yang berperan dalam penculikan Mehrtens.
“TNI bekerja dengan metode ‘operasi rahasia’,” tutur Hesegem. “Di Yuguru, mereka selalu berdatangan. Trauma yang membekap masyarakat itu berat sekali. Tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk hidup di tanah mereka, bahkan tidak sebagai pengungsi.” Di saat perang di Timur Tengah dan Ukraina memenuhi tajuk berita media internasional, perjuangan Papua mengumpulkan dukungan internasional demi kemerdekaan berhadapan dengan situasi yang kian berat.
***
Catatan: Tulisan ini awalnya diterbitkan di Jacobin.com pada 18 Juni 2025 dengan judul asli “West Papua’s Forever War”. Setelah minta ijin kepada penulis, tulisan ini diterjemahkan oleh Kevin Aryatama, salah satu pengasuh Lingkar Diskusi Gender dan dipublikasikan kembali disini untuk tujuan pendidikan dan propaganda.