Abisai Rollo—budak Indonesia yang hari ini menjabat sebagai Wali Kota Jayapura baru saja mengeluarkan pernyataan menyesatkan yang merusak persatuan rakyat Papua. Ia mengatakan bahwa akan mengusir semua rakyat Papua yang berasal dari wilayah pegunungan Papua dari Kota Jayapura. Alasan di balik peryataan ini adalah, katanya, tukang demo.
Tapi ini adalah akal-akallan munafik penguasa untuk memecah persatuan rakyat Papua. Tidak ada urgensi apapun bagi kebijakan kampungan ini diterapkan, kecuali upaya memecah-mecah persatuan rakyat Papua. Ini adalah politik devide et impera atau ‘pecah belah dan kuasai’ ala rezim kolonial yang sudah berlaku dimana pun kekuasaan kolonial bercokol.
Abisai Rollo bukan rahasia lagi adalah perpanjangan tangan kekuasaan kolonial Indonesia di atas tanah Papua. Ia adalah rel penghubung kekuasaan Jakarta ke atas tanah Papua. Tanpa Abisai Rollo atau kacung-kacung Indonesia lainnya di atas tanah Papua, maka kekuasaan Indonesia tidak akan bertahan sehari pun di atas tanah Papua. Ini adalah pola yang diterapkan bukan hanya di Papua, tapi juga di seluruh wilayah jajahan lainnya.
Belanda ketika menancapkan kukunya di Indonesia, mereka menggunakan penguasa-penguasa lokal untuk memuluskan misinya. Pertama adalah menggiring narasi perbedaan di antara penduduk lokal, saling berrmusuhan terjadi, lalu Belanda dengan mudahnya menguasai kepulauan Indonesia yang kaya raya selama 350 tahun lamanya.
Sejarah menunjukkan bahwa pertentangan antara Kerajaan Majapahit dan Gerakan Islam yang dipimpin oleh Walisongso menghasilkan perpecahan serius di kalangan pribumi Indonesia. Eropa memanfaatkan situasi ini, dan Portugal mendarat pertama kali tahun 1446. Kemudian tahun 1512 Spanyol mendarat di Tidore dengan memanfaatkan kerja sama dengan Sultan Tidore yang korup dan terbelakang.
Tanggal 22 Juni 1596, Belanda mendarat pertama kali di Banten. Kemudian dibentuk Gubernur Jenderal dengan dibantu Dewan Hindia yang terdiri dari lima orang. Perkembangan selanjutnya, Belanda memanfaatkan perpecahan, bahkan mereka adalah aktor untuk memecah-memecah persatuan rakyat Indonesia, lalu menguasai Indonesia sepenuhnya.
Belanda memperluas politik devide et impera dengan merekrut penguasa-penguasa lokal (rel penghubung) yang dijadikan sebagai bupati-bupati. Tugas utama para Bupati adalah melaksanakan sepenuhnya kebijakan penguasa Belanda termasuk memainkan politik devide et impera. Para Bupati adalah corong terdepan, sementara aktor di baliknya adalah Belanda. Hasilnya bangsa Indonesia diperbudak dan diperas selama lebih dari 350 tahun.
Persoalan yang sama juga terjadi di Rwanda, Afrika Tengah, dimana penjajah Belgia memprovokasi permusuhan antara etnis Hutu dan Tutsi. Selama berkuasa, kolonialisme Belgia memakai Etnis Tutsi sebagai kaki tangannya dan menyingkirkan Etnis Hutu yang menyusun mayoritas dalam penduduk Rwanda. Hasilnya Rwanda pecah dalam konflik abadi, dan kolonialisme Belgia berlangsung secara leluasa disana.
Ini juga terjadi di Kongo, Dahomey, dan sebagainya. Polanya sama dan klise di berbagai penjuru dunia. Tidak ada yang baru, hanya wajah dan ras yang berganti. Kolonialisme hanya bisa berlangsung apabila rakyat terbagi menjadi bagian-bagian kecil yang saling bermusuhan satu sama lainnya.
Inilah keuntungan ‘politik pecah belah’ ala kolonialisme dan kegunaan elit-elit lokal sebagai corong terdepan mereka. Politik devide et impera adalah kartu joker penguasa yang digunakan untuk mengecoh target agar mudah dikuasai. Sementara elit lokal adalah senjata eksekusi yang disamarkan sesuai warna penduduk supaya tidak mudah dikenali oleh rakyat.
Ini adalah teknik perang tingkat tinggi yang digunakan oleh para penjajah di seluruh muka bumi, dan hasilnya mereka selalu menang. Inilah yang coba diterapkan hari ini oleh penjajah Indonesia di zaman yang serba modern ini. Dahulu Indonesia menerapkannya di Timor Leste, Aceh, lalu terus dipertahankan di Papua hingga hari ini.
Abisai Rollo dan omongan ngawurnya adalah bagian dari grand design ini. Kolonialisme Indonesia menggunakannya sebagai corong terdepan untuk memecah-belah persatuan rakyat agar mudah dikuasai dan kekayaan alamnya dicuri tanpa perlawanan berarti dari rakyat. Ini adalah pola klasik dengan wajah baru seperti Abisai Rollo dan kacung-kacung Indonesia lainnya di atas tanah Papua.
Abisai Rollo adalah sisa-sisa dari kekuasaan feodalisme (Ondoafi) keropos yang masih terus dipertahankan untuk memuluskan kepentingan kolonialisme Indonesia di atas tanah Papua. Dari rekam sejarah, jelas kelas Ondoafi adalah kelas bangsawan lokal yang sudah sekarat tetapi masih terus dipertahankan guna menjadi mesin pelaksana kekuatan kolonial di atas tanah Papua, lebih khusus tanah Adat Mamta atau Jayapura.
Kawan Yokbeth Fele dalam tulisan tulisannya tentang Sistem Kepemimpinan Ondofolo, Kolonialisme, dan Kapitalisme dengan tepat menulis bahwa, “Dalam kapitalisme hari ini, kekuasaan Ondofolo dan semua pandangan mistis yang melegitimasinya, mulai kehilangan eksistensinya; tetapi di lain hal, kaum aristokrasi ini harus dipertahankan oleh penjajah untuk mendukung penjajahan di Papua.”
Abisai Rollo adalah golongan Ondoafi keropos yang masih difungsikan kembali dengan jubah Wali Kota guna memuluskan kepentingan penjajah Indonesia. Kelas Ondoafi dalam sejarah sudah terbukti adalah pembela status quo, reaksioner, dan penghambat kemajuan. Dan hari ini, itulah yang tergambar jelas dalam wajah Abisai Rollo. Ia adalah mumi kering yang dipajang kembali untuk memuluskan kepentingan Indonesia di Papua.
Tetapi kita rakyat Papua sudah mengetahui hal itu. Kita mengetahui bahwa Abisai Rollo adalah wayang, sementara aktor di baliknya adalah kekuatan-kekuatan jahat yang bernafsu merampok negeri ini untuk keuntungan mereka. Kekuatan itu tidak lain adalah imperialisme Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan kolonialisme Indonesia.
Bukti dari hal ini adalah, Abisai Rollo adalah budak negara yang bekerja untuk melayani sistem. Maka mustahil, seribu kali mustahil, argumennya bebas dari intervensi sang bos yang tidak lain adalah kolonialisme Indonesia dan tuannya imperialisme. Argumen sang birokrat negara, berarti argument negara itu sendiri. Maka Abisai Rollo tidak lain adalah negara kolonial Indonesia itu sendiri dan tuannya imperialisme Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Rencana busuk untuk menghancurkan persatuan rakyat Papua sudah berlangsung sejak Indonesia menduduki Papua tahun 1963. Tetapi proses yang lebih nyata adalah pasca kebangkitan rakyat Papua setelah Reformasi 1998 yang ditandai dengan Kongres Rakyat Papua (KRP) II tahun 2000 di Jayapura.
Saat itu rakyat Papua dari berbagai golongan bersatu dan membentuk badan politiknya sendiri yang diketuai oleh Theys Hiyo Eluay dan Thom Beanal. Tetapi proses ini berlangsung singkat, karena kolonial Indonesia dengan keji membantai pemimpin rakyat Papua, Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001. Keberhasilan ini disambut meriah oleh Indonesia, tetapi merupakan kehancuran dan perpecahan bagi rakyat Papua.
Selanjutnya Indonesia memproduksi narasi gunung dan pantai untuk memecah-belah persatuan rakyat Papua. Gunung dimitoskan sebagai pemberontak, sementara pantai disucikan sebagai mahluk patuh yang taat dan tunduk pada aturan penguasa yang lalim. Maka gunung adalah jahat sementara pantai adalah baik. Ini berlangsung sejak kepemimpinan Gubernur J. P. Solossa hingga hari ini.
Akumulasi dari politik devide et impera ini adalah pemekaran berjamuran di seluruh tanah Papua. Motif dibaliknya adalah ekonomi, tetapi sentimen yang disodorkan oleh Indonesia adalah ‘harga diri’ kewilayahan yang tidak lain merupakan wujud asli politik devide et impera itu sendiri. Wilayah Papua dibagi-bagi ke dalam ruang-ruang kecil, tujuannya satu: agar mudah dikuasai.
Inilah yang terjadi hari ini di seluruh tanah Papua. Kolonial Indonesia menggunakan pemekaran, tetapi juga narasi gunung VS pantai untuk membenturkan sesama rakyat Papua agar tidak ada persatuan di antara sesama kita. Dan peryataan Abisai Rollo adalah bagian integral dari desain besar tersebut.
Ini bukanlah suatu kebetulan atau kejadian yang terjadi secara acak. Tetapi jelas, negara kolonial Indonesia sedang menargetkan seluruh tanah Papua untuk keperluan industri mereka. Mulai dari tambang emas terbesar dunia di Intan Jaya, PSN di Merauke, Nikel di Raja Ampat, Sawit di Sorong, Gas di Bintuni, Frepoort di Timika, Blok Warim, dan sebagainya. Semua akan diluncurkan secara massif dan luas hanya apabila rakyat Papua tidak bersatu.
Maka kuncinya, pecah belah dulu rakyat Papua, lalu kuasai kekayaan alam mereka. Sekali lagi, inilah yang terjadi sekarang. Dan kita rakyat Papua sudah mengetahuinya. Lalu apa yang harus kita lakukan? Kuncinya hanya satu: persatuan nasional seluruh rakyat Papua tanpa terkecuali. Mulai dari Raja Ampat hingga Sarmi, dari Merauke hingga Biak, semua harus bersatu dalam persatuan nasional rakyat Papua.
Indonesia mengobrak-abrik tanah air kita tanpa sedikit pun mempedulikan kita, karena kita tidak bersatu. Dan sekarang politik jahat itu mau dimasifkan lagi. Maka kita tidak punya pilihan lain kecuali bersatu dalam persatuan nasional seluruh rakyat Papua. Kita harus melawan politik gunung VS pantai dengan politik persatuan. Tidak ada gunung, tidak ada pantai, kitong satu: Papua.
Kita adalah Bintang Kejora! Kita adalah one people, one soul! Kita adalah hitam kulit-keriting rambut! Kita adalah Papua, bangsa yang besar dan berwibawa! Kita bukan bangsa gaplek yang seenaknya mau dimainkan oleh politik devide et impera ala penguasa yang jahat dan kotor! Kita bukan kacung Jakarta seperti Abisai Rollo dan manusia-manusia sejenisnya!
Kita adalah bangsa yang menolak tunduk demi harga diri bangsa kita. Kita bukan bangsa monyet yang seenaknya diperkuda demi tujuan antek-antek asing di atas tanah Papua. Semua politik pecah-belah apapun berarti memperkuat posisi kolonial Indonesia yang merampok, memperkosa, dan membunuh rakyat Papua sejak 1961 hingga hari ini.
Maka kita menolak semua upaya apapun terkait hal itu, termasuk agumentasi kacung Jakarta di Jayapura, Abisay Rollo.
Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!
Hidup Persatuan Nasional Rakyat Papua Barat!