“Dipukul hingga kelingking patah, hanya berakhir dengan minta maaf“.
Pada Desember 2020 malam, patroli Polisi melakukan pemeriksaan di salah satu hotel yang berdekatan dengan salah satu pangkalan ojek di Sentani. Mereka tampak sedang melakukan pengejaran terhadap pelaku pencurian di hotel. Pelaku dilaporkan berlari menuju ke arah pangkalan ojek, lalu berlari ke atas menuju salah satu kompleks perumahan yang agak jauh dari hotel dan pangkalan ojek.
Saat itu, Onsu dan adiknya sedang duduk di pangkalan ojek sambil makan pinang dan bercerita. Beberapa anggota Polisi tidak melanjutkan pengejaran ke kompleks perumahan, tapi berhenti di seberang jalan yang berhadapan dengan pangkalan ojek. Mereka lalu berjalan menuju ke arah pangkalan ojek lalu mencoba menahan Onsu dan adiknya. Pertengkaran terjadi, karena keduanya merasa tidak melakukan tindakan kriminal. Tetapi mereka tetap dipaksa naik ke mobil patroli.
“Maaf, abang Polisi kenapa tahan kitong dua, kitong bikin salah apa, kitong cuma duduk makan pinang,” katanya dalam keadaan kaget. Setelah Onsu dan adiknya diangkat ke dalam mobil patroli, beberapa oknum Polisi memukul kepala dan menendang mereka.
Saat sampai di depan kantor polisi, oknum Polisi menurunkan mereka berdua sambil terus memukul dan menendang. Onsu mencoba membela diri, “Kenapa kam pukul kita, sa tidak terima, sa akan tuntut kam.” katanya dengan nada emosi.
Oknum-oknum polisi terus saja memukul sampai di dalam tahanan sel. Di dalam tahanan, Onsu masih sempat melawan dan teriak, “Sa akan tuntut kam, sa akan hubungi lembaga hukum, sa tidak terima karena kam sudah salah tangkap orang.”
Sementara Onsu masih dalam keadaan teriak dan marah-marah, tiga orang anggota Polisi datang ke arah tahanan sel. Mereka membuka pintu terali besi lalu memukuli Onsu dan adiknya. Onsu dipukul dengan kayu rotan bambu dari bagian kepala, badan, tangan, betis, juga kaki. Hampir seluruh tubuh mengalami luka-luka robekan akibat dipukul menggunakan rotan bambu. Kemudian, jari kelingking kanan diinjak menggunakan sepatu boots Polisi yang mengakibatkan patah tulang.
Keesokan harinya, tepat di pagi hari, saya dihubungi Onsu melalui telepon selulernya. Onsu mulai memberitahu saya dan menceritakan semuanya. Saya langsung datang ke kantor Polisi untuk melihat dan sekaligus menanyakan terkait penahanannya. Pada saat itu seorang anggota Polisi memberitahukan bahwa salah satu oknum Polisi yang melakukan pemukulan terhadap Onsu dan adiknya.
Dalam pembicaraan atau penjelasan kepada saya, terlihat seperti semua baik-baik saja dan oknum Polisi mengatakan akan segera mengeluarkan Onsu dan adiknya pada saat waktu lepas dinas.
Pada saat itu juga, saya meminta izin untuk melihat Onsu dan memberikan air minum. Saat bertemu dia, sontak, saya kaget. Onsu menunjukkan kepada saya seluruh tubuhnya yang penuh dengan luka. Jari kelingking kanannya bengkak, juga wajahnya. Keadaan ini juga terjadi kepada adiknya.
Onsu mengatakan kepada saya, bahwa dia akan menuntut tindakan Polisi ini lewat jalur hukum. Alasannya kondisi yang dialami sangat tidak adil dan penangkapan dilakukan tanpa bukti tindakan kejahatan. Saat itu saya berusaha menenangkan dia. Saya mengatakan bahwa dia harus sabar menunggu sampai dikeluarkan dari tahanan, baru kita akan tempuh jalur hukum.
Keluarga membuat laporan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua. LBH Papua dengan cepat menanggapi kasus ini, mengumpulkan data berupa kronologi kejadian salah tangkap kepada tersangka, dan melakukan pertemuan dengan keluarga.
LBH Papua menjelaskan bahwa Penegak Hukum tidak diperbolehkan melakukan penangkapan terhadap tersangka tanpa didasari alat bukti dan tidak boleh melakukan tindakan kekerasan fisik karena ada undang-undang yang mengatur.
Emanuel Gobay, Direktur LBH Papua saat itu menjelaskan, Kitab Undang Hukum Pidana (KUHAP) mendefinisikan penangkapan sebagai suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa, apabila terdapat bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Tindakan penangkapan ini, lanjutnya, hanya dapat dilakukan dalam melaksanakan tugas kepolisian dengan alasan sebagai berikut: terdapat dugaan kuat bahwa seseorang telah melakukan kejahatan, untuk mencegah seseorang melakukan kejahatan, dan untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Terkait dengan pelaksanaan penangkapan, dalam Pasal 17 ayat (1) Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009, dipertegas bahwa dalam melakukan penangkapan, setiap petugas wajib untuk memberitahu atau menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas polisi; menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali dalam keadaan tertangkap tangan; memberitahukan alasan penangkapan; menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman tersangka pada saat penangkapan; menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan; senantiasa melindungi hak privasi tersangka yang ditangkap; dan memberitahu hak-hak tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut, berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan hukum dan/atau didampingi oleh penasihat hukum, serta hak-hak lainnya sesuai KUHAP.
Pada kasus yang terjadi Onsu dan adiknya, dapat disimpulkan bahwa tindakan penangkapan dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi tidak sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dari penangkapan yang langsung dilakukan tanpa didahului dengan menunjukkan surat perintah penangkapan, dan tidak memberitahukan alasan penangkapan. Selain itu, perlu diperhatikan juga bahwa penangkapan ini hanya dapat dilakukan kepada seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan permulaan cukup minimal 2 alat bukti yang sah.
Tindakan kekerasan untuk mendapat pengakuan seperti yang dilakukan terhadap Osun dan adiknya pun dilarang. Pasal 27 ayat (2) huruf h Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 menyatakan bahwa dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa, petugas dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan baik bersifat fisik atau psikis dengan maksud untuk mendapatkan keterangan, informasi, atau pengakuan.
Selain itu melanggar KUHAP dan Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009, tindakan oknum Kode Etik Profesi Polri (KEPP). KEPP adalah norma atau aturan moral baik tertulis maupun tidak tertulis yang menjadi pedoman sikap, perilaku, dan perbuatan pejabat Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, tanggung jawab, serta kehidupan sehari-hari. Pejabat Polri wajib memedomani KEPP dengan menaati setiap kewajiban dan larangan dalam etika kenegaraan, etika kelembagaan, etika kemasyarakatan, dan etika kepribadian.
Sementara proses pelaporan hukum dari pihak Onsu dan keluarga sedang berjalan, ada undangan mediasi yang dilakukan dari pihak kepolisian, dalam hal ini kepala Kepolisian (Kapolsek). Ia memerintahkan kepada seluruh oknum anggota yang terlibat dan beberapa Kepala Unit (Kanit) yang terkait bertemu dengan keluarga. Pertemuan dilakukan secara tatap muka dengan Onsu dan keluarga di kantor Polisi.
Setelah bertemu secara langsung dan mengetahui secara detail keseluruhan kronologi permasalahan yang terjadi dari pihak korban dan oknum anggotanya, Kapolsek akhirnya membenarkan bahwa ada kelalaian dalam prosedur kerja yang dilakukan oleh oknum anggotanya.
“Saya selaku pimpinan dengan kerendahan hati meminta maaf kepada korban, pihak keluarga, dan semua yang merasa kecewa, dirugikan dari kejadian ini atas kelalaian salah tangkap kepada korban, yang mengakibatkan tindakan kriminal kepada korban dan adiknya,” kata Kapolsek saat itu.
“Saya sangat tidak membenarkan kejadian ini, karena ini sudah pasti masuk dalam kode etik kepolisian dan ada pasal KUHP yang mengaturnya.” lanjutnya.
Acara dilanjutkan dengan permintaan maaf yang dilakukan oleh oknum anggota Polisi yang terlibat. Mereka juga membuat pernyataan di depan semua pihak, bahwa tidak akan mengulangi kesalahan ini, dan siap menanggung resiko dan proses hukum yang berlaku jika terjadi lagi. Hal itu membuat Onsu memaafkan dan mengakhiri proses hukum yang sudah dilaporkan ke LBH Papua.
Keluarga menghargai keputusan Onsu untuk berdamai, dan mengikuti apa yang sudah diputuskan Onsu. Lewat mediasi yang berakhir damai ini, kritik dan saran juga dilontarkan dari pihak keluarga dan LBH Papua yang mendampingi Onsu. Tetapi keluarga meminta Kapolsek agar dapat memastikan kejadian serupa tidak terjadi lagi.
“Tidak boleh ada lagi pemukulan yang terjadi menggunakan rotan bambu atau benda tumpul lainnya di dalam tahanan.” ucap perwakilan keluarga.
Keluarga juga meminta agar aparat keamanan tidak menangkap hanya dengan stigma bahwa orang asli Papua kalau kumpul-kumpul pasti minum minuman keras, pasti buat keributan, dan lain sebagainya.
“Aparat seharusnya menciptakan rasa aman dengan menyuruh pulang atau mengingatkan untuk tidak membuat keributan kepada anak-anak yang sedang berkumpul.”
Direktur LBH Papua mengatakan menerima keputusan klien untuk mengakhiri proses hukum ini. Tetapi ia menegaskan agar di kemudian hari tidak akan ada lagi korban salah tangkap yang terjadi di Polsek itu.
“Tidak boleh ada lagi penangkapan di luar prosedur kerja Kepolisian yang mengakibatkan tindakan kriminal ini terjadi kepada pihak lain.” tegasnya.
Kasus ini kemudian berakhir tanpa satu pun pelaku dibawa ke jalur hukum. Kami, walaupun sedikit terpaksa, akhirnya menerima untuk berdamai meski tidak ada jaminan pelaku tidak mengulang tindakannya kepada orang lain.
Kami berharap aparat Kepolisian sebagai penegak hukum harus taat hukum. Sudah seharusnya kepolisian di semua tingkatan bekerja sesuai dengan prosedur kerja, aturan perundang-undangan, dan tidak mengabaikan kode etik Kepolisian, karena sampai saat ini, Kepolisian adalah penegak hukum yang menjadi wadah utama dalam proses penindakan kejahatan masyarakat.
***