Hingga Desember 2023, terdapat 218 izin usaha pertambangan yang mengkapling 34 pulau kecil di Indonesia. Total luas konsesi dari seluruh perusahaan itu mencapai 274.549,57 hektar. Eksploitasi pulau-pulau kecil oleh pertambangan memperparah kerentanan alami yang dihadapi masyarakat pesisir, semisal krisis iklim dan bencana ekologis. Eksploitasi oleh industri pertambangan tersebut telah memicu bencana ekologis baru, mulai dari pencemaran air tanah dan air permukaan, serta laut yang berdampak pada hilangnya akses atas air dan wilayah tangkap nelayan.
Tidak terkecuali di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, yang kini menjadi simbol tragis dari ekosida dan krisis lingkungan nan ekstrim akibat ekspansi industri pertambangan dan smelter nikel. Di tengah gegap gempita transisi energi dan ekonomi hijau, korporasi seperti perusahaan Harita Group tambah memperdalam jurang ketimpangan ekologis, ekonomi, dan sosial di wilayah-wilayah periferal Indonesia, sebagaimana keadaan terkini di ‘Pulau Obira’. Kepulauan yang dahulu dikenal sebagai salah satu gugusan pulau indah dengan hutan tropis begitu lebat dan kaya akan sumber daya laut, seiring bergulirnya waktu, wajah Obi tampak berubah dramatis. Pulau dengan luas sekitar 3.111 Km persegi dan jumlah penduduk mencapai 37.406 jiwa, tengah dicabik-cabik pertambangan nikel berskala besar dengan Harita Group sebagai sutradara dan aktor ‘penghancuran’.
Ironisnya, bukannya menghadirkan kesejahteraan, kedatangan Harita Group sejak 2010 di Desa Kawasi-Kecamatan Obi, misalnya, terasa menyisakan duka struktural teramat pelik. Berkaca dari pandangan antropolog Tania Li (2014), apa yang menjarah Pulau Obi sekarang, mencerminkan bagaimana relasi kapitalis ditanamkan secara paksa ke jantung kehidupan masyarakat lewat perampasan lahan, pemutusan hubungan ekosistem, dan transformasi ‘nilai guna’ menuju yang disebut sebagai ‘nilai tukar’. Sebagaimana bukunya Land’s End, Tania Li menjelaskan apabila kapitalisme bekerja bukan semata-mata mengeksploitasi tenaga kerja, daripada itu kapitalisme pun dijembatani lewat proses ‘penutupan akses’ terhadap tanah dan sumber daya yang sebelumnya dimiliki bersama oleh masyarakat lokal.
Di Obi, wilayah konsesi pertambangan ikut menyingkirkan masyarakat dari ladang penghidupan dan tempat tinggal mereka, menghancurkan praktik ekonomi subsisten, dan menggantinya dengan ketergantungan atas struktur industri pertambangan yang rapuh yang penuh ketidakpastian. Korporasi yang dimiliki oleh Lim Hariyanto Wijaya Sarwono (keluarga Lim) itu memanfaatkan anak-anak perusahaannya yakni PT. Trimegah Bangun Persada (TBP), PT. Obi Nickel Cobalt (ONC), PT. Halmahera Jaya Feronikel, dan PT. Halmahera Persada Lygend (HPL), menjalankan operasi tambang dan smelter nikel berkapasitas besar di Pulau Obi. Tahun 2023 Harita menggunakan PT. TBP berhasil melantai di bursa efek, mencatatkannya sebagai pionir industri hilirisasi nikel di Indonesia.
Bahkan tahun 2020 lalu, kawasan industri di Kawasi ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden No. 109/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Meski demikian, sangat terang-terangan keberhasilan korporasi ini berkembang di atas pengabaian serta pengrusakan ekologis yang mereka timbulkan begitu masif, sistematis, lalu menciptakan traumatis bagi warga lokal.
Kejahatan Ekstraktif Harita Group
Invasi Harita Group di Obi tak sekadar investasi industri, rupanya ada manifestasi nyata dari model pembangunan yang menempatkan ekstraktivisme sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi negara. Berselancar menunggangi anak-anak perusahaan tersebut, Harita menguasai industri nikel yang lengkap dengan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) berbasis teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL)—teknologi yang dikenal sangat intensif terhadap air dan menghasilkan limbah berbahaya, termasuk residu asam dan logam berat.
Langkah di atas tidak serta merta menjadikan Harita Group pionir hilirisasi nikel, sekaligus representasi dari bagaimana lembaga-lembaga keuangan pun turut mendukung agenda ekstraktivisme dengan konsekuensi kerusakan lingkungan yang tinggi. Contohnya Bank OCBC, Bank UOB, Bank Mandiri, Hana Bank, Indonesia Eximbank, Maybank, China Eximbank, BCA, CIMB NIAGA, Bank BNI, BNP Paribas, dan Bank DBS. Kedua belas bank tersebut, tatkala menjembatani Harita tampil layaknya raksasa dengan keuntungan triliunan. Kendati di situasi yang berbeda, warga Obi yang dulunya sejahtera dari hasil melaut, kini hidup dalam kemelut kehancuran lingkungan pengaruh kemusnahan biodiversitas lokal, kesakitan, dan kemelaratan.
Laporan hasil investigasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) awal tahun 2025, menjelaskan jika bisnis nikel milik Harita telah mengemisi sekitar 7,98 MtCO2e gas rumah kaca tahun 2023. Artinya, bilamana Harita sudah menyumbang 1% total emisi gas rumah kaca dari yang dihasilkan Indonesia di tahun yang sama, sebesar 733,2 MtCO2e. Emisi gas rumah kaca (GRK) yang diproduksi dari smelter setara dengan emisi dari 1,8 juta kendaraan roda empat tahun 2023. Dengan kata lain, emisi GRK yang terfragmentasi hanya dari smelter di Obi saja, nyaris setara dengan seluruh emisi kendaraan roda empat di Provinsi Jawa Timur yang berjumlah 2.076.146 unit. Perbedaannya, Obi adalah pulau dengan luas 3.048 Km2 sedangkan Jawa Timur memiliki luas 48.033 km2.
Selain meninggalkan jejak kerusakan lingkungan, seluruh aktivitas industri Harita mulai dari pertambangan hingga perkebunan sawit, ikut menimbulkan jejak kerusakan multidimensi yang tak bisa lagi dipulihkan. Bisnis ekstraktif Harita selalu memboncengi cerita perampasan ruang produksi warga lokal, pencaplokan akses pangan: baik di daratan maupun di pesisir, perampasan hak atas air dan udara yang bersih, hingga ‘perampokan’ hak atas kedamaian warga dengan menghadirkan serial persoalan, adu domba antar warga, intimidasi, dan berbagai bentuk kriminalisasi.
Ulasan sebelumnya, dapat diamati dari pendekatan David Harvey (2003) perihal akumulasi lewat penjarahan (accumulation by dispossession), bahwa jikalau kapitalisme memperluas diri bukan melintas inovasi atau produksi barang semata, sebaliknya dengan siasat perampasan, lahan diklaim sebagai konsesi, akses atas sumber daya dikontrol sedemikian ketat, dan sistem sosial-ekologis yang sebelumnya bersifat komunal dikomersialisasi demi akumulasi keuntungan. Harita tidak sebatas ‘mengolah nikel’, ia pun mencaplok wilayah-wilayah produksi yang selama ini adalah basis dan tumpuan ekonomi subsisten masyarakat Obi.
Lebih jauh, ekspansi tersebut memperlihatkan sifat ekstraktivisme hijau (green extractivism), strategi penghancuran biodiversitas lokal yang memboncengi slogan keberlanjutan dan transisi energi. Padahal sejatinya narasi korporasi, nikel dari Obi disebut-sebut bahan baku baterai kendaraan listrik yang sangat ‘ramah lingkungan’. Sebenarnya kondisinya kontradiksi; ihwal transisi menuju ekonomi hijau global dibangun dalam kubangan pengorbanan pulau-pulau kecil seperti Pulau Obi yang ikut didera dampak ekosida.
Selain daripada itu, seyogyanya keberhasilan Harita Group hanyalah suatu spekulasi dari bebatuan nikel, akan tetapi bagian dari corak pengabaian akan hak masyarakat lokal, perampasan ruang hidup, dan kerusakan kehidupan yang bergerak ke ambang keterpurukan. Kemudian Harita juga tidak sedang memerankan aktor industri belaka, ia bagian dari rezim kekuasaan ekstraktif yang ‘tamak’ serta menjadikan Obi—dan rakyat di pulau-pulau lain—serupa kolateral dari ambisi pertumbuhan nasional dan banalitas logika pasar global.
Absennya Negara
Hakikatnya kerusakan ekologis di Pulau Obi tatkala ‘melampaui’ ambang ‘pemusnahan’ tatanan ekologi. Mengutip hukum lingkungan internasional dan wacana ekokritis global, kehancuran semacam itu dikenal sebagai ekosida—yakni pemberangusan besar-besaran dan sistematis kepada lingkungan maupun mengancam keberlangsungan makhluk hidup, termasuk manusia. Gagasan ekosida pertama kali dimunculkan oleh seorang pengacara lingkungan asal Inggris, Polly Higgins (2010) yang mendefinisikannya sebagai “the extensive damage to, destruction of or loss of ecosystems of a given territory … to such an extent that peaceful enjoyment by the inhabitants of that territory has been severely diminished.” Seturut kerangka ini, ekosida tidak sebatas memusnahkan lingkungan, ia ikut merujuk ke aspek pelanggaran atas hak asasi manusia dan hak komunitas masyarakat demi merebut kendali kehidupan yang layak.
Sebagaimana situasi di Pulau Obi, dokumentasi ekosida itu terlihat jelas. Tumpahan limbah industri ke laut mengakibatkan kelumpuhan ekosistem pesisir, sedimentasi berat mematikan terumbu karang, sumber air bersih tercemar logam berat–beracun, wilayah tangkap nelayan hancur lebur, dan memporak-poranda kawasan pertanian akibat polusi udara kotor. Pengaruhnya berlapis, dari krisis pangan bahkan sagu terancam punah, hilangnya peradaban dan budaya tradisional, dislokasi sosial yang hadir beriringan dengan meningkatnya konflik horizontal maupun vertikal.
Kemudian menurut Richard Falk (1992), pakar hukum internasional, menyatakan ekosida dapat dimengerti sebagai “kejahatan terhadap perdamaian” karena bisa menghilangkan prasyarat-prasyarat ekologis bagi kehidupan manusia secara kolektif. Jadi dengan sendirinya, ekosida tidak bisa dihindari dari kritik terhadap sistem politik dan ekonomi global yang memungkinkan tindak kejahatan ini terus-menerus berlangsung dengan legal.
Harita Group bukan hanya mengendalikan sektor tambang, tapi ikut menguasai ekosistem sosial-politik. Mereka membangun jalan, fasilitas umum, bahkan mengintervensi struktur pemerintahan dari daerah sampai tingkat desa. Di beberapa kasus, elite pemerintahan dan tokoh masyarakat dirangkul dan dijadikan ‘corong perusahaan’. Pada situasi krusial ini, terletak persoalan yang lebih mendalam: ketika negara absen, kekuasaan korporasi mengambil alih fungsi-fungsi publik. Yang tersisa dan tampak bagi rakyat sekadar ruang sempit untuk bertahan hidup, melawan, atau tunduk.
Karut-marut tersebut, berkelindan dengan pemikiran Tania Li (2014) yang mengutarakan betapa ambisinya kapitalisme bekerja dengan cara ‘menutup akses’ komunitas masyarakat terhadap sumber daya bersama (the enclosure of the commons). Dari proses demikian, bukan hanya ekosistem yang dihancurkan, tetapi juga sistem nilai, relasi sosial, dan praktik penghidupan yang selama ini merupakan tumpuan hidup masyarakat. Di Obi, masyarakat kehilangan lebih dari sekadar alam. Mereka kehilangan dimensi sosial dan kultural yang telah diwariskan lintas generasi.
Menanggapi klaim Harita Group yang menyebut perusahaannya sebagai bagian dari ‘transisi energi hijau’, kita perlu mencurigai wacana ‘busuk’ semacam itu sebagai bagian dari apa yang disebut greenwashing atau green extractivism—yakni perampasan sumber daya atas nama kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Menyangkut perkara ini, ekosida di Obi adalah keadaan nyata di balik proyek hilirisasi nikel dan ambiguitas menjadi pusat industri baterai global, nampaknya tersirat jejak kekerasan ekologis yang dilegitimasi negara kemudian dimandatkan oleh pasar global. Kemudian, patut diketahui bersama bahwasannya ekosida bukan semata ‘kerusakan lingkungan’. Ia adalah kekerasan struktural yang menyasar masyarakat marjinal, merampas hak mereka atas tanah, air, udara bersih, dan masa depan. Dan di Pulau Obi, kekerasan ini berulangkali terjadi bukan karena negara juga absen, tapi karena negara terlibat begitu aktif selayaknya arsitek kebijakan dan mitra kapital.
Lengkap sudah bukti-bukti nyata bahwasannya pemerintah: daerah dan pusat, memang tidak pernah berpihak kepada masyarakat Obi. Pemerintah seakan menutup mata dan telinganya dari pelbagai ketidakadilan yang terjadi dan berlipat ganda. Salah satu ketidak pedulian pemerintah dapat diamati dari suburnya monopoli penguasaan sumber agraria, konflik-konflik yang berhubungan penguasaan tanah-tanah adat yang berkepanjangan, persoalan yang berkaitan dengan pengadaan tanah berskala besar, dan sebagainya. Kesemuanya itu tentu sangat merugikan masyarakat, teristimewa bagi mereka yang menggantungkan kehidupannya dari sumber daya agraria. Rentetan peristiwa kehancuran ekologis dan struktur sosial yang berlangsung di Obi, seakan-akan semacam menu wajib yang setiap saat mesti ‘dimakan’ oleh warga setempat, lebih-lebih bagi para petani, nelayan, dan masyarakat kecil lainnya, yang mana alat produksi mereka terkena imbas proyek ekstraktif.
Transisi Energi atau Transisi Krisis?
Argumen yang paling sering digunakan untuk melegitimasi operasi Harita Group adalah peran strategis nikel untuk mendukung transisi energi global menuju era rendah karbon. Nikel, bersama litium dan kobalt, merupakan komponen utama baterai kendaraan listrik (electric vehicle: EV)—simbol utama ekonomi hijau Abad ke-21. Indonesia, dengan cadangan nikel laterit terbesar di dunia, diposisikan sebagai pemain kunci dalam rantai pasok energi masa depan. Namun, pertanyaan krusialnya, transisi energi untuk siapa dan dengan ongkos siapa?
Di banyak wilayah Selatan Global, termasuk Pulau Obi, transisi energi justru menampilkan wajah baru dari ketimpangan struktural. Negara-negara maju di Global North—Amerika Serikat, Uni Eropa, Tiongkok—menggembar-gemborkan komitmen terhadap dekarbonisasi. Melihat praktiknya, terdapat ‘eksternalisasi biaya ekologis’ dari transisi itu ke negara-negara penghasil bahan baku mentah. Sementara negara-negara di Utara mengaspirasikan udara bersih dan transportasi hijau, jadi pulau-pulau kecil seperti Obi tak luput menghadapi kemiskinan struktural dan perampasan ruang hidup demi pasokan mineral strategis.
Pada kerangka ini, konsep kolonialisme hijau (green colonialism) sangat relevan. Istilah ini digunakan oleh Max Ajl, Alf Hornburg, dan gerakan keadilan iklim di Selatan Global untuk menyebut bagaimana proyek-proyek ekonomi hijau seringkali direalisasikan menggunakan eksploitasi baru terhadap wilayah-wilayah pinggiran atau daerah-daerah terisolir. Kolonialisme berselancar di atas korporasi transnasional, regulasi negara yang akomodatif, dan logika pasar bebas yang dibungkus jargon transisi energi.
Misalnya Max Ajl dengan karyanya A People’s Green New Deal (2021), mengkritik proyek transisi energi global yang didorong Utara sebagai proyek imperialisme hijau—yakni reorganisasi produksi energi yang konsisten mempertahankan relasi ketimpangan struktural antara pusat dan pinggiran. Ia menyebut jika tanpa pembongkaran atas fondasi kolonial dalam sistem ekonomi global, alhasil transisi energi hanya akan mengganti bahan bakar fosil dengan mineral ‘hijau’ sembari mengekalkan eksploitasi atas tanah dan tenaga kerja di Selatan Global.
Fenomena warga-warga tidak menikmati kendaraan listrik, tidak menjadi bagian dari rantai pasok bernilai tinggi, dan bahkan tidak punya akses listrik yang memadai. Yang terjadi, mereka menanggung limbah industri, kehilangan laut dan hutan, serta terpinggirkan secara politik. Alf Hornburg (2019) dalam pendapatnya tentang ecologically unequal exchange, menjelaskan jika teknologi rendah karbon di negara maju sering dibangun dari transfer biaya ekologis yang tidak setara ke negara berkembang. Indonesia, dalam hal ini, menjadi eksportir kerusakan ekologis demi modernitas hijau global.
Selain itu, seperti dijelaskan oleh Jason Moore (2015), transisi energi ini juga menampilkan karakter cheap nature dari kapitalisme, di mana pelbagai elemen ekologis berupa tanah, air, mineral, dan bahkan tenaga manusia—diubah menjadi komoditas murah demi akumulasi kapital belaka. Konsep ‘murah’ di sini bukan hanya soal harga pasar, tetapi hasil dari kekerasan sistemik yang membuat suatu ruang, sumber daya, atau komunitas dapat dieksploitasi tanpa pertanggungjawaban etis maupun ekologis.
Duka Pulau Obi bukanlah kisah yang berdiri sendiri. Ia merepresentasikan krisis yang lebih luas, antara benturan kepentingan kapital global dengan hak komunitas lokal atas ruang hidup. Apa yang terjadi di Obi juga sedang berlangsung di Wawonii, Morowali, bahkan ke Pulau Seram. Semua atas nama kemajuan, pembangunan, dan hijau yang semu. Sudah waktunya kita mendengar suara dari pinggiran.
Di berbagai forum internasional, Indonesia bangga memamerkan keberhasilan proyek hilirisasi dan transisi energinya. Harita Group dipuji sebagai mitra strategis, dan kawasan industri Obi dipakai sebagai model percontohan. Sayangnya, dunia jarang mendengar suara-suara dari bawah: jeritan warga Kawasi, tangisan nelayan Soligi, atau kesedihan ibu-ibu yang kehilangan sumber mata air di Gane.
Suara mereka yang tak memiliki akses ke kanal politik formal, namun merasakan langsung dampak dari kebijakan yang dibuat jauh di pusat kekuasaan. Harita Group dan negara bisa saja membangun istana nikel di atas tanah Obi. Tapi sejarah akan mencatat siapa yang menjadi korban dalam proyek ambisius ini. Kita perlu membayangkan ulang masa depan yang tidak ditentukan oleh pasar global atau agenda oligarki transnasional, melainkan oleh komunitas-komunitas yang hidup berdampingan dengan alam.
***
Catatan: Tulisan ini sudah diterbitkan di media Islam Bergerak pada 27 April 2025. Kami terbitkan lagi untuk kepentingan pendidikan dan propaganda karena penulis mengirim tulisan ini juga ke meja Redaksi Lao-Lao Papua pada 21 April 2025.
Daftar Pustaka
Ajl, M. (2021). A people’s green new deal. London: Pluto Press.
Falk, R. (1992). Revisiting the idea of ecocide: Perspectives on environmental law and policy. In R. Falk (Ed.), On humane governance (pp. 85–96). Cambridge: Polity Press.
Harvey, D. (2003). The New Imperialism. Oxford University Press.
Higgins, P. (2010). Eradicating ecocide: Laws and governance to prevent the destruction of our planet (1st ed.). London: Shepheard-Walwyn.
Hornborg, A. (2019). Nature, society, and justice in the Anthropocene: Unraveling the money-energy-technology complex. Cambridge: Cambridge University Press.
Li, T. M. (2014). Land’s end: Capitalist relations on an indigenous frontier. Durham: Duke University Press.
Moore, J. W. (2015). Capitalism in the web of life: Ecology and the accumulation of capital. London: Verso.