Analisa Harian Perlawanan Mahasiswa Uncen dan Omong Kosong Para Akademisi Gadungan

Perlawanan Mahasiswa Uncen dan Omong Kosong Para Akademisi Gadungan

-

Kamis, 22 Mei 2025 ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih (Uncen) melancarkan aksi demonstrasi di gerbang masuk Kampus Atas, Jalan Perumnas 3 Waena, Kota Jayapura, Papua.

Mahasiswa menuntut pihak kampus segera menurunkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) angkatan 2023 hingga 2025 yang mahal dan mencekik. Mahasiswa menilai UKT naik secara drastis dan tidak masuk akal. Ini bermula dari perubahan status Uncen dari Satuan Kerja (Satker) menjadi Badan Pelayan Publik (BLU) pada tahun 2023.

Dengan adanya BLU, maka mayoritas urusan lembaga universitas bukan lagi menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya, namun dikembalikan menjadi urusan internal kampus. Sehingga beberapa hal penting, termasuk pendapatan universitas dikembalikan dan diatur oleh pimpinan kampus.

Konsekuensinya adalah penetapan biaya semau-maunya dan metode operasionalnya hampir mirip PTNBH dimana ia wajib mencari sumber dana sendiri untuk menghidupi kampusnya. Ini berarti, kampus hanya bisa berjalan apabila mahasiswa membayar mahal. Inilah yang terjadi di Uncen sehingga UKT terus naik setiap tahun.

Tahun 2023, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UKT-nya naik menjadi Rp. 3 juta. Tahun 2024 naik lagi menjadi Rp. 5 juta, dan tahun 2025 naik menjadi Rp. 6,5 juta. Sementara di Fakultas Teknik, misalnya Jurusan Elektro, UKT per 2023-2024 adalah Rp. 4.55 juta. Tahun 2025, angka ini dirubah menjadi Rp. 5,675. Di Fakultas Kedokteran, bahkan untuk kategori 7 jumlahnya mencapai Rp. 18 juta per mahasiswa.

Karena itu mahasiswa mendesak UKT harus diturunkan. Dan ini benar, karena memberatkan mahasiswa dengan latar belakang golongan menengah ke bawah. Di tambah efisiensi anggaran Pemerintah Prabowo-Gibran, PHK massal yang dilancarkan hari ini, dan sebagainya, membuat mayoritas kaum muda tidak mampu mengakses pendidikan tinggi. Utamanya OAP yang telah lama disingkirkan dan dimiskinkan oleh negara.

Namun aksi mulia ini justru dibubarkan secara paksa oleh pihak kepolisian. Entah apa yang ada di kepala polisi, namun inilah yang terjadi. Polisi menggunakan rotan, pentungan, bahkan senjata, dan water canon untuk membubarkan massa aksi. Bahkan dari video yang tersebar luas, terlihat jelas bahwa polisi juga menggunakan katapel dan merusak semua kendaraan motor milik mahasiswa depan Kabesma Uncen.

Salah satu anggota mahasiswa Uncen, Varra Iyaba, bahkan mengkonfirmasi bahwa polisi juga mengambil sejumlah komputer dan barang berharga milik mahasiswa tanpa izin dan tidak dikembalikan. Puluhan mahasiswa juga mengalami luka-luka, termasuk Tenis Aliknoe, yang mengalami luka tembakkan gas air mata di kepala atau otak bagian belakang.

Tetapi bukannya meminta maaf atau merasa bersalah, Kapolres Jayapura justru menyebar segunung dusta bahwa mahasiswa yang menyerang polisi lebih dahulu dan aksi mahasiswa tidak memiliki izin. Ini adalah informasi yang tidak benar dan pembohongan publik.

Serangan Akademisi Bayaran dan Bantahan Kita

Bukan saja polisi yang menyerang mahasiswa dengan pentungan dan kebohongan, namun para akademisi berpikiran cupet juga demikian. Sebenarnya ada serangan lain yang datang dari birokrat-birokrat negara seperti misalnya Kepala Lurah Malawei di Kota Sorong. Namun karena alasan kualitas—yang harus dikatakan dengan jujur bahwa terlalu rendah—maka kita akan mengabaikannya.

Fokus kita hanya kepada para akademisi, yang bersembunyi di balik dalil-dalil ‘ilmiah’, mencoba mematahkan perjuangan kaum muda atau dalam hal ini mahasiswa di Uncen. Serangan mereka ini sejatinya lebih berbahaya dibanding pentungan, karena menyerang isi kepala. Pembunuhan paling baik adalah hancurkan isi kepalanya. Karena itu, kita harus melawan.

Marinus Yaung, Dosen Uncen, pembela Indonesia paling gigih di Papua, penjilat penguasa paling setia, menulis bahwa (kita ambil intinya saja): 1) selama di wilayah NKRI, maka polisi punya kewenangan penuh untuk bubarkan dan tangkap siapa saja, termasuk di wilayah kampus, dan 2) demonstrasi mahasiswa dengan metode palang kampus, berarti membatasi hak mahasisiwa lainnya untuk belajar. Ini adalah pelanggaran HAM, sebab hak kita dibatasi oleh hak orang lain.

Pertama, mengatakan bahwa “polisi mempunyai kewenangan tak terbatas” adalah argumentasi yang sangat rendah. Dari asas legal formal, jelas menyalahi aturan otonomi kampus. Sementara dari sudut pandang politik, berarti melanggengkan militerisme di wilayah sipil. Ini adalah sesuatu yang berbahaya dan tidak boleh diampuni oleh siapa pun.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2012, Pasal 6 menegaskan bahwa, pada prinsipnya Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukkan, persatuan, dan kesatuan bangsa.

Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 juga menegaskan bahwa surat pemberitahuan tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus, dan kegiatan keagamaan sebagaimana ditegaskan pada Pasal 10 ayat (4), Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Maka, argumentasi Marinus Yaung bahwa bahwa “polisi mempunyai kewenangan penuh di atas teritori Indonesia termasuk kampus” adalah bertentangan dengan konstitusi negara yang ia bela sendiri. Demonstrasi mahasiswa juga adalah bagian integral dari aktivitas akademik yang ilmiah, yaitu artikulasi ilmu pengetahuan dalam praktek merespon realitas objektif yang mencekik kehidupan manusia, atau dalam hal ini mahasiswa.

UKT mahal adalah realitas objektif yang mencekik kehidupan mahasiswa, atau hak mahasiswa untuk mendapat pendidikan gratis, ilmiah, dan berivisi kerakyatan. Maka sudah seharusnya mahasiswa sebagai kaum yang terpelajar merespon itu. Dan salah satu responnya adalah demostrasi. Sehingga, dimana letak kesalahan mahasiswa?

Selanjutnya, argumentasi “polisi bebas” adalah argumentasi yang sangat murahan. Polisi bebas atau kebebasan bagi militer, berarti matinya supremasi sipil atau kebebasan sipil di sisi lain. Ini adalah dukungan untuk matinya demokrasi di Indonesia. Sebuah kecupetan berpikir yang mengancam tujuan Reformasi 98, yaitu, penghapusan militerisme dari wilayah sipil.

Apabila polisi berhak membubarkan dan mengintervensi semua lini kehidupan sipil, maka bagaimana supremasi sipil bisa berkembang? Tidak ada polisi netral, mereka adalah alat kekerasan negara untuk melayani kelas berkuasa yang memegang kendali negara.

Polisi tidak lain adalah orang-orang bersenjata yang disusun sedemikian rupa dengan senjata di tangan dan seperangkat hukum untuk membatasi dan menghukum semua orang yang menentang kekuasaan. (Plato, Republik dan Lenin, Negara dan Revolusi).

Maka, memberi kebebasan seluas-luasnya bagi militer, berarti pada hakekatnya memberi kebebasan bagi alat kekerasan kelas berkuasa untuk menindas dan menghancurkan semua kekuatan rakyat, termasuk mahasiswa yang menuntut pemotongan UKT. Ini adalah kejahatan!

Karena itu sangat jelas, argumentasi poin satu dari Marinus Yaung di atas, bukan hanya mengandung keberpihakan politik terhadap kelas yang berkuasa, tapi juga cacat secara teoritis. Sehingga argumentasi ini dibuang saja ke tempat sampah.

Kedua, palang kampus membatasi hak mahasiswa lainnya; hak kita dibatasi oleh hak orang lain. Dengan ini Marinus Yaung bermaksud bahwa hak mahasiswa menyampaikan pendapat adalah “hak kita”. Tapi palang kampus, berarti “membatasi hak orang lain” yang ingin kuliah dengan santai, pragmatis, dan apatis.

Di permukaan tampaknya argumen ini netral, ilmiah, dan berdiri sebagai hukum humanisme yang tertinggi, yaitu semua orang memiliki hak yang setara. Tapi ini adalah kebohongan, pemutar balikkan fakta yang sangat keterlaluan dari manusia penyembah kekuasaan paling setia. Yudas Iskariot jaman modern tidak lain adalah Marinus Yaung!

Argumentasi semua manusia setara adalah argumentasi yang pertama kali dikembangkan pada Abad-18 dan Abad-19 yang menandai serangan umum kepada kekuasaan feodalisme yang menyatakan bahwa Raja adalah ototritas Tuhan di bumi, maka kekuasaannya tak terbatas. Kaum borjuis menolaknya dan menyatakan bahwa semua manusia adalah setara, termasuk raja. Ini berpuncak pada Revolusi Prancis (1789) dengan slogan Liberte, Egalite, Fraternite (Kebebasan, Keadlian, dan Persaudaraan).

Namun, Revolusi Prancis tidak menunaikan tugas itu dengan semestinya. Karena Revolusi Prancis adalah revolusi borjuis, maka alih-alih melahirkan kesetaran dan keadilan, justru melahirkan kontradiksi baru. Kaum borjuis tampil ke kekuasaan menggantikan raja feodal dan kaum proletaritat menjadi objek eksploitasi kaum borjuis.

Slogan kesetaran, keadilan, dan persaudaran yang diperjuangkan bersama sekarang berubah menjadi kesetaran bagi kelas pemilik kekuasaan dan ketidaksetaraan bagi kaum buruh dan kaum miskin.

Di masa modern saat ini—Abad-21—di abad kapitalisme monopoli (imperialisme), kontradiksi ini justru semakin besar. Kaum tertindas semakin dieksploitasi dan jumlahnya semakin besar. Sementara kaum pengeksploitasi, kaum penguasa, semakin kaya raya dan minoritas. Dan kaum berkuasa menggunakan negara dan aparat polisi untuk memuluskan semua kejahatan ini (Lengkapnya baca Lenin Revolusi Proletariat dan Kautsky si Penghianat).

Maka, argumen Marinus Yaung bahwa semua manusia setara di masa kapitalisme monopoli adalah omong kosong. Sebuah penipuan besar di siang bolong. Ini adalah argumen seorang anak kecil yang buta, bukan seorang akademisi yang terpelajar. Jika saja ia akademisi terpelajar, maka itu adalah akademisi yang berusaha membohongi kaum tertindas demi kenyamanan kaum penguasa.

Mahalnya UKT oleh kebijakan perubahan status Uncen menjadi BLU berarti ada upaya cuci tangan dari negara (jangan lupa negara modern adalah alat kelas yang berkuasa) terhadap pendidikan generasi bangsa. Mengapa demikian? Tidak lain, kelas berkuasa sedang berjudi dalam dunia pendidikan menggunakan negara untuk keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka.

BLU berarti mayoritas urusan kampus dikembalikan kepada kampus. Kampus berarti, sumber pendapatannya adalah UKT dan/atau SPP mahasiswa. Maka, UKT mahal adalah syarat mutlak agar universitas bisa berjalan. Lalu kita bertanya, jika pendidikan menjadi tanggung jawab tiap-tiap individu mahasiswa, maka apa fungsinya negara?

Jelas UKT mahal adalah upaya kapitalisasi pendidikan demi keuntungan kelas yang berkuasa, kelas borjuasi. UKT mahal berarti tersingkirnya jutaan kaum muda dari golongan lemah dan miskin terhadap pendidikan yang layak. Karena itu, hak kita dibatasi oleh hak orang lain oleh Marinus Yaung terhadap aksi mahasiswa adalah kemunafikan terbesar.

Sejatinya yang memaksa hak mereka dan merusak hak orang lain adalah kelas berkuasa. Mereka menghancurkan hak jutaan, sekali lagi jutaan, kaum muda di seluruh Indonesia demi hak segelintir mereka. Maka siapa sesungguhnya yang biadap, mahasiswa palang kampus atau kelas berkuasa yang dibela oleh Marinus Yaung?

Inilah kebohongan terbesar Marinus Yaung. Ia berbicara seolah-olah mewakili hak orang lain yang dikorbankan. Tetapi ia hanya melihat taktik mahasiswa dalam perjuangan melawan kapitalisasi pendidikan sebagai melanggar hak orang lain, namun menutup mata terhadap kapitalisasi pendidikan kelas berkuasa kepada jutaan kaum muda Indonesia.

Bagi Marinus Yaung, kapitalisasi pendidikan adalah ‘normal’ dan bukan sebuah kejahatan, bukan menghalangi hak orang lain. Ia berbicara bahwa jutaan kaum muda kehilangan pendidikan karena UKT mahal adalah bukan membatasi hak orang lain. Itu adalah wajar. Saya bertanya, siapakah yang lebih jahat dari pada argumen semacam ini? Tidak ada, satu-satunya di muka bumi adalah Marinus Yaung.

Sekarang kita ke Ibrahim Peyon, seorang akademisi Uncen yang juga menyerang aksi mahasiswa. Ibrahim Peyon sejatinya berbeda dengan Marinus Yaung. Ia jauh lebih kritis, menolak kekuasaan yang menindas dan mendukung kemerdekaan Papua.

Dalam banyak hal, ia juga menulis tentang perjuangan rakyat Papua. Ia merangkai banyak sumber-sumber yang katanya ilmiah lalu membangunnya dalam satu barisan untuk mendukung perjuangan rakyat Papua. Tetapi telah kita lihat berulang kali, bahwa dari semua argumennya itu, tidak ada satupun yang tepat.

Dan sekarang, berkebalikan dengan yang di atas, ia justru berdiri bersama kaum penindas untuk menyerang aksi mahasiswa. Ibrahim Peyon menulis bahwa “demonstrasi mahasiswa adalah demo angin, tidak ada guna, karena status Uncen sekarang adalah BLU. Uncen hanya bisa maju apabila UKT mahal. Jika UKT turun, maka dampaknya ke pendidikan. Sehingga demo mahasiswa turunkan UKT itu tidak masuk akal.”

Mari, kita bertanya kepada Ibrahim Peyon yang sudah jadi Marinus Yaung hari ini: apa tujuan status Uncen dirubah menjadi BLU? Urgensinya apa? Siapa yang mengusulkan, birokrat kampus atau kelas penguasa? Atas dasar apa? Demi tujuan apa?

Satu jawaban untuk semua pertanyaan ini adalah: tidak jelas sama sekali, kecuali kapitalisasi pendidikan atau lebih jelasnya, bisnis pendidikan demi keuntungan kelas berkuasa. Maka apakah mahasiswa harus diam menghadapi kenyataan ini?

Semua manusia normal di muka bumi, kecuali Ibrahim Peyon dan Marinus Yaung, akan mengatakan bahwa harus lawan! Dan inilah yang dilancarkan oleh mahasiswa Uncen. Mereka menunut hak mereka yang dirampas tirani dan berjuang demi pendidikan murah. Apa yang salah? Tidak ada sama sekali, kecuali otaknya Ibrahim Peyon.

Ibrahim Peyon dengan segala kemewahan intelektualnya terjebak dalam formalitas kaku yang diterapkan penguasa untuk bisnis mereka. Padahal mahasiswa dengan jelas menyatakan, cabut status BLU dan kembalikan pendidikan murah di Uncen. Itu! Tidak lebih, tidak kurang. Maka, sekali lagi, apa yang tidak masuk akal?

Marilah kita bawa Ibrahim Peyon ke Rumah Sakit Jiwa untuk mengobati sakit di kepalanya!

Selanjunya, Ibrahim Peyon juga menulis beberapa komentar, misalnya watak bangsa, tetapi ini tidak kongkrit dengan perjuangan mahasiswa, sehingga kita tidak perlu menanggapinya. Argumentasi yang serius adalah, mahasiswa tidak berprestasi (utamanya dari dari mahasiswa Meepago dan Lapago) karena sering demo.

Dengan ini Ibrahim Peyon bermaksud bahwa karena demo mahasiswa otak jadi mati (tidak berprestasi), atau sebaliknya, yang demo adalah mahasiswa yang otak mati. Maka baik pendemo (mahasiswa) dan substansi demo (tujuan), disimpulkan sebagai ‘tidak masuk akal’. Sungguh peremehan yang paling kurang ajar terhadap pergerakan mahasiswa.

Kita bertanya, apakah demo membuat otak jadi mati? Atau, yang demo adalah kumpulan mahasiswa otak mati? Inilah ketololan terbesar Ibrahim Peyon. Demonstrasi adalah gerak yang dihasilkan dari respon aktif otak manusia terhadap realitas material dimana ia berdiri.

Demonstrasi adalah produk dari lingkungan yang menindas. Bukan sesuatu yang semau-maunya. Dimana ada penindasan, maka disitu ada perlawanan. Tesis ini berlaku dimana pun belahan dunia dan kapan pun waktunya.

Jika Anda meninjau masa lalu manusia yang jauh, atau dalam terminologi Marxis, disebut Komunal Primitif—dimana tidak ada kelas-kelas dan penindasan—maka disana tidak ada perlawanan atau demonstrasi. Ini bukan sekedar karena kemampuan berpikir mereka rendah, tetapi tidak ada kebutuhan objektif apapun untuk perlawanan dilakukan.

Hal serupa juga bisa diterapkan di Abad-21 ini, dimana negara dengan kemakmuran rata-rata, misalnya bangsa-bangsa Skandinavia, maka perlawanan atau demonstrasi adalah sesuatu yang jarang. Ini bukan karena mahasiswa di Finlandia atau Norwegia adalah mahasiswa ‘otak mati’, tetapi tidak ada kebutuhan objektif untuk perlawanan dilancarkan.

Pendidikan gratis, kesehatan gratis, bahkan air minum pun gratis dan diakses oleh semua orang—maka untuk apa demonstrasi? Tidak ada sama sekali! Sebaliknya di Dunia ketiga dari Afrika hingga Asia, termasuk Amerika Latin, perlawanan adalah wajah sehari-hari. Inilah yang dimaksud Marx sebagai “keberadaan sosial mengkondisikan masyarakat.”

Selanjutnya, demonstrasi bukan hal main-main, tetapi dibutuhkan tingkat intelektualitas yang tinggi. Dibutuhkan suatu tingkatan berpikir yang disebut Paullo Freire sebagai ‘kesadaran kritis’. Ini benar. Sebab hidup di negara dimana kebohongan menjadi umum seperti Indonesia hari ini, maka dibutuhkan suatu ketajaman berpikir untuk melihat realitas dalam wujud aslinya.

Tidak semua orang mampu melihat realitas dalam wujud aslinya, apalagi mengambil tindakkan yang berani seperti demonstrasi atau perlawanan. Sebab kekuasaan dalam 1×24 jam menyebar kebohongan dan pemutarbalikkan fakta. Lebih lanjut, kekuasaan juga menyebarkan ketakutan, sehingga dibutuhkan kemampuan berpikir dan keberanian baja untuk mengambil tindakkan perlawanan.

Marx menulis bahwa, kesadaran di tiap-tiap zaman adalah kesadaran kelas berkuasa. Argumentasi UKT mahal harus bersyukur, jangan demo karena itu jahat, dan sebagainya, adalah ‘kesadaran’ yang ditebar oleh kelas berkuasa. Dan hari ini, itulah yang hinggap di mayoritas kepala masyarakat. Maka, barang siapa mengambil tindakan sebaliknya, ia adalah orang yang mampu berpikir melawan arus, atau kesadaran kritis.

Maka tesis Ibrahim Peyon bahwa “demo bikin otak mati atau yang demo adalah otak mati” adalah tidak benar sama sekali. Ini hanyalah hayalan seorang yang katanya akademisi, tapi pikirannya diselimuti propaganda kelas penguasa. Kita mengutuk pikiran semacam ini, termasuk orang yang mencetuskannya.

Demontrasi Sebagai Senjata Kaum Tertindas

Inilah puncak dari serangan terhadap pergerakan mahasiswa di Uncen. Baik polisi maupun para akademisi berpikiran cupet, walaupun keduanya menyerang dari sisi yang berbeda, namun mereka bertemu pada satu titik, yaitu: jangan demonstrasi.

Kita bertanya: mengapa tidak boleh demonstrasi? Mengapa polisi maupun para akademisi pendukungnya alergi terhadap demonstrasi? Sadar atau tidak, akui atau tidak, mereka sedang mengakui bahwa inilah senjata kaum tertindas, yang apabila terus digunakan, maka hancurlah tirani yang menindas.

Sejarah telah membuktikan itu dalam berbagai gelangang peristiwa, bahwa apabila rakyat bersatu dalam perlawan massa atau dalam tesis Tan Malaka disebut Aksi Massa, maka sekuat apapun tirani, sekuat apapun senjata, pasti dirobohkan.

Inilah yang dilakukan oleh Soekarno dalam mengusir Belanda, Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalam menumbangkan diktator Soeharto tahun 1998, penggulingan diktator Pinochet tahun 1971 di Chile, Revolusi Tiongkok tahun 1949, Kemerdekaan Vietnam yang dipimpin oleh Ho Chi Min, perlawanan kaum perempuan dalam memenangkan serangkaian refomma tahun 1960-70an, dan sebagainya. Ada beribu-ribu contoh mengenai ini.

Maka, mengapa kaum penguasa dan para akademisi takut mengenai demonstrasi atau aksi massa, jawabannya jelas: kaum tertindas sedang mengambil senjatanya. Ini adalah ancaman langsung dan segera bagi tirani. Maka polisi harus dikerahkan untuk menupas dengan dalil menegakkan hukum dan membayar para akademisi cupetan untuk menebar kebohongan.

Kita tahu ini, dan kita tidak boleh membiarkannya. Perlawanan ‘aksi massa’ harus terus dihidupkan. Birokrat kampus adalah bagian dari rezim kapitalistik yang menindas dan menyingkirikan kaum tak berpunya dari pendidikan yang layak. Maka ambil senjatamu, ambil ‘aksi massa’, ambil demonstrasi, dan pukul balik tirani.

Seperti yang dikatakan oleh sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, bahwa “didiklah penguasa dengan perlawanan.” Itulah senjatamu, itulah senjata kaum muda, mahasiswa, dan rakyat umum yang dimiskinkan dan melarat. Jika usul UKT turun ditolak, maka puisi Wijhi Tukul mengatakan: lawan!

***

Daftar rekomendasi bacaan:

Plato. 2015. Republik, Buku I & II. Terbitan Narasi: Yogyakarta.

Lenin. 2016. Negara dan Revolusi. Terbitan Antitesis: Yogyakarta.

Lenin. 2019. Revolusi Proletariat dan Kautsky si Penghianat. Terbitan Pribumi Publishin: Yogyakarta.

Freire, Paulo. 2019. Pendidikan Kaum Tertindas. Terbitan Narasi: Yogyakarta.

Yates, D. Michael. 2020. Dapatkah Kelas Pekerja Mengubah Dunia? Terbitan Penerbit Independen: Yogyakarta.

Malaka, Tan. 2022. Aksi Massa, Terbitan Narasi: Yogyakarta.

Lane, Max. 2014. Ingatan Revolusi, Aksi Massa dan Sejarah Indonesia. Terbitan Djaman Baroe: Yogyakarta.

Marx, Karl. Kata Pengantar Pada Sebuah Sumbangan Untuk Kritik Terhadap Ekonomi Politik. Diterbitkan di Website Marxis.org Indonesia.

Untuk perkembangan bangsa-bangsa Skandinavia, lihat karya Phil Zuckerman, Masyarakat Tanpa Tuhan, Terbitan Basabasi, Yogyakarta pada 2018.

Musell M. Safkaur
Penulis adalah aktivis Papua di Ayamaru, Maybrat, Papua Barat Daya dan anggota Organisasi Kaum Muda Sosialis (OKMS).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

KKP Itu Tirani Baru Atas Luka Lama Papua

Papua bukan sekadar wilayah di ujung timur Indonesia—ia adalah...

Kritik Terhadap Agama di Papua

Masalah agama adalah masalah yang tidak bisa diabaikan oleh siapapun yang mengingingkan perubahan dalam suatu masyarakat. Sebab, bagaimana pun...

Kekerasan Negara Terhadap Warga Berambut Gimbal di Papua

Tanah Papua terus menjadi saksi bisu atas kekerasan yang terjadi dalam bayang-bayang operasi militer. Di sejumlah wilayah yang disebut...

Perang West Papua Tiada Ujung

Prabowo Subianto pertama kali menorehkan nama sebagai pimpinan militer Indonesia lewat upaya menjegal perjuangan kemerdekaan Timor Timur. Kini dia...

Buku Saku: Apa Kabar ULMWP?

Kami terbitkan buku saku terbaru Apa Kabar ULMWP? bertepatan pada sidang KTT MSG hari ini, Senin, 23 Juni 2025...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan