Analisa Harian Tolak Tambang Nikel, Selamatkan Raja Ampat

Tolak Tambang Nikel, Selamatkan Raja Ampat

-

Kita tidak tahu bagaimana izin tambang nikel bisa dikeluarkan untuk operasi di Raja Ampat. Namun yang pasti, salah satu pulau terindah di muka bumi ini tengah terancam hancur. Ektrasi tambang nikel yang rakus, sekarang telah mengubah kawasan ini secara gila-gilaan dan berpotensi merusak keindahan alam Raja Ampat untuk selamanya.

Laporan Greenpeace Indonesia pada 3 Juni 2025 menunjukkan bahwa Pulau Gag yang letaknya 42 Km dari Paynemo telah digali secara masal untuk eksrtraksi nikel. Padahal pulau ini sejak 2019 telah dijadikan sebagai tempat konservasi Penyu Sisik. Namun dari pantauan udara, terlihat jelas puluhan eksafator tengah bekerja secara kompak untuk mengeruk pulau ini.

Di pulau lain, Pulau Kawei yang tidak jauh dari Wayag yang menjadi ikonik wisata Raja Ampat—yang menyuguhkan pulau-pulau kecil nan indah—juga tengah dikeruk untuk ekstraksi nikel. Jarak dari Pulau Kawei ke Pulau Wayag adalah 24 Km saja. Sementara 70% kekayaan biodversitas berada di perairan ini.

Dari data spasial yang dikumpul oleh tim Greenpeace, menunjukkan bahwa semua pulau ini telah diberi izin untuk tambang nikel. Sehingga sudah bisa dipastikan, apabila tidak dicegah maka pulau ini akan dikeruk hingga batu terakhir. Ini adalah ancaman langsung dan segera bagi keindahan alam Raja Ampat yang menjadi kebanggan kita bersama.

Predator tambang yang memegang konsensi di pulau ini adalah PT. Kawei Sejahtera Mining yang bernaung dibawah kendali Antam Group—raksasa tambang Indonesia yang terkenal brutal dan mewariskan kehancuran paling besar di Indonesia dan tidak pernah bertanggung jawab sampai hari ini. (Lihat film dokumenter Sexy Killers)

Sementara itu, dua pulau lain juga tengah menjadi target tambang nikel. Ini adalah Pulau Manyaifun dan Batang Pele. Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk kawasan ini dikeluarkan pada tahun 2013 kepada PT. Mulia Raymond Perkasa. Data yang dikeluarkan oleh ALJARA menunjukkan bahwa lebih dari 2.194 haktar luas pulau akan dikeruk demi nikel.

Pemerintah mengatakan bahwa ini demi pembangunan. Rezim Prabowo-Gibran getol bicara bahwa hilirisasi tambang Indonesia demi pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan energi bersih. Namun fakta menunjukkan bahwa yang terjadi justru sebaliknya.

Laporan Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA) tahun 2025 menunjukkan bahwa, deforestasi akibat pembukaan lahan nikel di Raja Ampat menimbulkan sedimentasi tinggi yang terbawa ke laut. Akibatnya terumbu karang yang menjadi habitat penting bagi spesies laut termasuk penyu sisik, tertutupi.

Di sisi lain, limbah tambang galian juga telah mencemari hutan manggrove yang berperan krusial dalam mitigasi perubahan iklim dan melindungi garis pantai dari abrasi. Penggundulan hutan, galian tambang yang berwarna jingga-coklat, telah terbawa arus ke laut dan merubah warna laut Raja Ampat yang indah. Sedimen tambang juga menumpuk di sepanjang garis pantai.

Akibat dari aktivitas tambang yang berbahaya ini juga, telah mengurangi kualitas air laut. Sebagai akibatnya, ribuan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari perikanan dan pariwisata kehilangan mata pencaharian. Air yang kotor telah mengurangi hasil tangkapan, dan berpotensi merusak potensi alam Raja Ampat yang berlimpah.

Ini berarti tambang nikel bukan hanya merusak alam, tapi juga kehidupan ribuan masyarakat. Hutan, gunung, dan pulau-pulau di Raja Ampat juga merupakan identitas budaya, sumber spritualitas, dan jati diri masyarakat—sehingga merusaknya berarti, menghancurkan keseluruhan tatanan masyarakat yang telah ada selama ribuan tahun.

Tetapi alih-alih menanggapi ini, pemerintah lokal justru saling ‘lempar bola’, dan terkesan membiarkan kejahatan ini terus bergulir. Bupati Raja Ampat mengatakan bahwa izin tambang dikeluarkan oleh bupati sebelumnya, sehingga bukan menjadi tanggung jawabnya. Sementara itu, izin tambang juga sekarang merupakan wewenang Jakarta, dan bukan pemerintah lokal.

Di tingkat Provinsi Papua Barat Daya juga demikian. Berdalih bahwa IUP dikeluarkan oleh provinsi sebelumnya (Papua Barat), dan belum ada laporan resmi dari masyarakat kepada pemerintah. Padahal, aktivitas tambang secara jelas menganga di hadapan mereka, dan menjadi ancaman serius saat ini.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemerintah lokal tidak punya keberanian dan kekuatan melawan mafia tambang. Selain itu, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang terbaru juga telah mentransfer kekuasaan dari daerah ke pusat, sehingga izin pertambangan yang dikeluarkan sering merupakan kongkalikong elit—yang tidak lain merupakan bos dari pimpinan lokal daerah, sehingga mereka tidak mempunyai nyali melawan bos mereka.

‘Omong Kosong’ Hilirisasi Tambang Demi Kemajuan Indonesia

Tambang nikel di Raja Ampat dari perspektif yang lebih luas adalah bagian integral dari ambisi rezim Prabwo-Gibran yang menyatakan hilirisasi sebagai lompatan menuju masa depan demi pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan energi bersih.

Bahkan sejak kampanye, Prabowo-Gibran telah berapi-api soal hilirasi. Tetapi persiapan soal ini telah ada sejak rezim Jokowi-Ma’aruf. Mereka mempercepat pengesahan Undang-Undang Minerba (2020) demi meletakkan landasan formal bagi kejahatan mereka. Para akademisi bayaran dan politisi-politisi partai borjuis memberi pujian bahwa ini suatu kemajuan.

Tetapi fakta justru membuktikan sebaliknya. Tambang nikel atau hilirisasi yang digembar-gemborkan justru menjadi malapetaka bagi masyarakat di sekitar daerah tambang dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

Kita ambil misal seperti pertambangan nikel di Teluk Weda, Halamahera, Maluku Utara. Teluk ini dulunya adalah ‘surga’. Ia menjadi jantung segitiga terumbu karang dunia, dipenuhi koloni karang besar, rumah ragam hayati. Di dasar laut, hiu berjalan (hemiscyllium halmahera) disana.

Penduduknya juga bertani dan mencari ikan. Mereka menyatu dengan alam, dan alam memberi kehidupan bagi mereka. Tapi semua ini berubah sejak tahun 2019, dimana industri nikel dibangun disana. Adalah Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP)—sebuah mega proyek hilirisasi nikel, konsorsium China, Perancis, dan Indonesia yang diberi status Proyek Strategis Nasional (PSN) yang beroperasi.

Setelah enam tahun berjalan, alih-alih menunjukkan pertumbuhan yang baik, sebaliknya justru menjadi malapetaka. Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako dalam laporan mereka pada 26 Mei 2025, menunjukkan bahwa akibat tambang nikel, air sungai jadi tercemar, dan tidak layak konsumsi.

Dari sampel yang diambil dari sungai Ake Jira, terbukti bahwa kualitas airnya turun dari kelas 1 (layak minum) pada 2007 dan kini menjadi sungai kelas 3 yang hanya diperbolehkan untuk pertanian dan perikanan karena tidak layak minum bagi manusia. Di sisi lain, sedimentasi sungai telah mesuk kategori ‘tercemar berat’.

Ikan-ikan di peraian Teluk Weda juga telah teracuni sedimen arsenik 20 kali lipat meningkat dari penelitian LIPI tahun 2007. Sementara dari sampel darah yang diambil dari warga di Teluk Weda, ditemukan kandungan nikel, kadmium, timbal, dan talium. Dari 46 sampel, 22 diantarnya ditemukan kadar merkuri berat dalam darah.

Laporan lain juga menyatakan bahwa para pekerja bekerja selama 24 minggu berturut-turut dengan hanya 2 minggu libur. Para pekerja juga sering mengkonsumsi ikan yang telah teracuni logam berat. Sehingga bukan hanya diperbudak, tetapi telah dihancurkan secara perlahan melalui ikan yang dikonsumsi.

Laporan Wahana Lingkungan Hidup  (Walhi) Indonesia tahun 2024 juga menujukkan bahwa lingkungan di sekitar Teluk Weda rusak berat. Tahun 2023 dan 2024 banjir besar menghantam wilayah ini, rumah-rumah warga hilang, dan perkebunan mereka tenggelam. Ini adalah banjir besar pertama kali di kawasan ini.

Secara keseluruhan, Teluk Weda telah hancur berantakan akibat pertambangan nikel.

Tetapi ini bukan hanya di Teluk Weda. Kawasan lain yang menjadi tempat jarahan nikel juga menderita hal serupa. Ini terjadi di Pulau Obi di Halmahera, Konawe di Sulawesi Utara, Morowali di Sulawesi Tengah, dan sebagainya. Hutan-hutan mereka hancur, air tercemari, dan kemiskinan serta penderitaan menjadi umum.

Argumen bahwa pertambangan nikel untuk energi bersih juga adalah omong kosong. Selain meracuni tanah dan perairan, insdutri nikel juga mengotori udara. Peleburan nikel membutuhkan energi batubara. Sementara PLTU batubara sendiri adalah emisi merkuri antropogenik terbesar kedua di dunia setelah penambangan emas skala kecil.

Ini dibuktikan dengan laporan Greenpeace pada 19 April 2025, bahwa masyarakat di Morowali dalam tahun 2023 saja lebih dari 1.148 orang terinfeksi ispa akibat pembakaran batubara di PLTU Captive. Korban utamanya adalah anak-anak karena debu halus dari medium cerobong yang terbawa angin.

Sementara laporan Michaella GY Lo dan tim jurnal One Heart (2024) merangkum dampak lingkungan dan sosial di 7.721 desa terdampak nikel di Sulawesi. Penggundulan hutan dua kali lipat antara tahun 2011-2018 di desa-desa ini. Namun, kesejahteraan masyarakat—meliputi standar hidup, lingkungan, infrastruktur, kesehatan, kohesi sosial, dan pendidikan—jalan di tempat.

Sementara pembangunan sumber daya manusia untuk transisi energi juga rendah. Wini Rizkiningayu, dari Regional Asia Tengara Rocky Mountain Institute, melaporkan bahwa pemerintah Indonesia belum mempersiapkan kualitas sumber daya manusia untuk ambisi transisi energi. Sehingga pertanyaannya, siapa yang akan bekerja?

Inilah omong kosong dari hilirisasi yang dikampanyekan beribu-ribu kali di atas podium. Alih-alih membawa kesejahteraan dan lingkungan bersih, yang terjadi justru sebaliknya. Ribuan orang kehilangan tempat hidup, pencemaran lingkungan berat, dan kemiskinan merajalela.

Bisnis tambang nikel tidak lain adalah kongkalikong jahat para mafia dan elit politik borjuasi demi keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka. Tidak peduli rakyat dikorbankan, yang penting adalah uang bagi mereka. Ini adalah kejahatan yang jelas-jelas merusak seluruh kehidupan alam dan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Selamatkan Alam Raja Ampat

Tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali bergerak dan selamatkan Raja Ampat. Ini adalah pilihan terakhir. Jika tidak, kita akan kehilangan Raja Ampat untuk selamanya. Para elit lokal hingga para politisi nasional adalah bagian dari jaringan bisnis yang memuluskan tambang nikel. Sehingga, jika tidak dipaksa oleh gerakan massa, maka ekstraksi tetap berlanjut.

Kita sudah lihat pengalaman di Halmahera, Sulawesi, dan lain-lain. Disana tidak ada kemajuan, sebaliknya justru kehancuran. Semua janji tentang pembangunan adalah omong kosong. Rakyat menderita dan alam hancur. Maka, mengapa kita harus menerima tambang nikel di Raja Ampat? Tidak ada alasan sama sekali. Maka itu, kita harus menolaknya.

Raja Ampat adalah harta paling mahal yang kita miliki. Ia adalah simbol keindahan dan kekayaan alam Papua Barat dan Indonesia yang tidak ada duanya. UNESCO telah memasukan Raja Ampat sebagai UNESCO Global Geopark karena keindahan alam dan bawah lautnya.

Gugusan pulau karts yang indah, terdiri dari 610 pulau kecil dan besar yang berbaris indah. Lautnya jernih dan menjadi tempat keanekaragaman hayati. Ini sudah cukup memberi makan dan minum bagi manusianya. Kecantikannya menjadi daya pikat jutaan manusia di seluruh dunia, maka tidak perlu nikel untuk memajukan ekonomi.

Nikel adalah tambang yang kotor, dan merusak keanekaragaman hayati. Limbahnya berbahaya karena beracun, baik di udara, tanah, maupun laut. Pengerukan pulau berarti pengurangan jumlah pulau. Ini berarti mengurangi keindahan alam Raja Ampat. Maka sekali lagi, nikel untuk apa? Tidak lain untuk kehancuran. Karena itu, kita harus melawan!

Masyarakat Raja Ampat telah mengorganisir dan melawan melalui Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA). Beberapa aktivis dari Greenpeace juga demikian. Dan ini benar! Tetapi untuk mendobrak jaringan tambang yang berurat akar dan dilindungi oleh hukum dan militer, maka dibutuhkan kekuatan yang berkali-kali lipat. Ini berarti Anda dan saya harus bergerak.

Raja Ampat bukan hanya milik masyarakat Raja Ampat, orang Papua dan Indonesia, tetapi adalah harta warisan dunia baik untuk generasi hari ini dan yang akan datang. Sehingga tanggung jawab melindunginya, adalah tanggung jawab kita bersama. Mari bergerak bersama: tolak tambang nikel, selamatkan Raja Ampat.

Save Raja Ampat!

Kitong yang Rugi, Oligarki Yang Untung!

Papua Bukan Tanah Kosong!

***

Musell M. Safkaur
Penulis adalah aktivis Papua di Ayamaru, Maybrat, Papua Barat Daya dan anggota Organisasi Kaum Muda Sosialis (OKMS).

3 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

KKP Itu Tirani Baru Atas Luka Lama Papua

Papua bukan sekadar wilayah di ujung timur Indonesia—ia adalah...

Kritik Terhadap Agama di Papua

Masalah agama adalah masalah yang tidak bisa diabaikan oleh siapapun yang mengingingkan perubahan dalam suatu masyarakat. Sebab, bagaimana pun...

Kekerasan Negara Terhadap Warga Berambut Gimbal di Papua

Tanah Papua terus menjadi saksi bisu atas kekerasan yang terjadi dalam bayang-bayang operasi militer. Di sejumlah wilayah yang disebut...

Perang West Papua Tiada Ujung

Prabowo Subianto pertama kali menorehkan nama sebagai pimpinan militer Indonesia lewat upaya menjegal perjuangan kemerdekaan Timor Timur. Kini dia...

Buku Saku: Apa Kabar ULMWP?

Kami terbitkan buku saku terbaru Apa Kabar ULMWP? bertepatan pada sidang KTT MSG hari ini, Senin, 23 Juni 2025...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan